Electronic Health Record (EHR) sudah banyak digunakan di
berbagai rumah sakit di dunia sebagai pengganti atau pelengkap rekam
kesehatan berbentuk kertas. Di Indonesia dikenal dengan Rekam Kesehatan
Elektronik (RKE). Sejak berkembangnya e-Health, EHR menjadi
jantung informasi dalam sistem informasi rumah sakit. EHR sudah mulai
digunakan di beberapa rumah sakit di Indonesia khususnya rumah sakit
dengan penanam modal asing (PMA), namun demikian para tenaga kesehatan
dan pengelola sarana pelayanan kesehatan masih ragu untuk menggunakannya
karena belum ada peraturan perundangan yang secara khusus mengatur
penggunaannya.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 telah memberikan jawaban atas keraguan yang ada. UU ITE telah memberikan peluang untuk implemetasi EHR. Artikel ini hasil studi pustaka tentang implementasi EHR, mencakup: studi kasus pemakaian EHR (Journal AHIMA), dampak EHR pada fungsi-fungsi Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) dan pengujian penerimaan EHR.
Kata kunci: UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Electronic Health Record (EHR), HIM (Health Information Management)
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda dunia telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2004 – 2009 yang menjelaskan bahwa “Arah kebijakan Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi difokuskan pada enam bidang prioritas, antara lain pengembangan teknologi dan informasi dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik. Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.
Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EHR sudah banyak digunakan, namun belum mengatur mengenai EHR. Begitu pula Peraturan Menteri Kesehatan No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur mengenai EHR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut memberikan ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik (EHR).
Penyelenggaraan EHR di rumah sakit sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang semakin berkualitas, karena salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dengan EHR yaitu mencegah kejadian medical error melalui tiga mekanisme yaitu (1) pencegahan adverse event, (2) memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan (3) melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event. (Anis Fuad)
Keuntungan lain dari EHR yaitu dapat memberikan peringatan dan kewaspadaan klinik (clinical alerts and reminders), hubungan dengan sumber pengetahuan untuk menunjang keputusan layanan-kesehatan (health care decision support) dan analisis data agregat (Johan Harlan).
Selain itu dengan adanya EHR memungkinkan terselenggaranya komunikasi silang yang semakin kompleks antara sesama tenaga kesehatan dengan berbagai pihak yang sama-sama memberikan pelayanan kepada pasien di sarana pelayanan kesehatan, dan EHR juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan penting dalam mengukur keberhasilan program kesehatan di instansi pelayanan yang ada. (Menkes RI, 2005).
Saat ini di Indonesia tercatat sekitar 1300 RS dan ribuan puskesmas (Menkes RI) yang tentunya pemerintah perlu memikirkan rancangan induk (grand disain) EHR yang disusun secara strategis per regional meliputi wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat. Rancangan EHR tersebut tentunya harus dapat mengatasi hal-hal yang sering terjadi pada rekam medis berbasis kertas antara lain: (1) Aksesibilitas informasi kesehatan pasien belum real time, (2) kelengkapan, keakuratan dan keamanan informasi kesehatan pasien masih rendah, (3) Pemanfaatan data pasien dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di sarana pelayanan kesehatan oleh para pengelola sarana pelayanan kesehatan belum optimal, (4) Data pasien belum dioptimalkan oleh para tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan secara berkesinambungan dalam rangka pelayanan yang efektif dan efisien.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan Nomor:269/Menkes/PER/III/2008 tentang rekam medis menjelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Bab I pasal 1).
Rekam medis yang memuat informasi evaluasi keadaan fisik dan riwayat penyakit pasien amat penting dalam perencanaan dan koordinasi pelayanan pasien, bagi evaluasi lanjut serta menjamin kontinuitas pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu kelengkapan, keakuratan dan ketepatan waktu pengisian harus diupayakan dalam organisasi kesehatan karena amat penting bagi kelayakan tindakan pelayanan dan rujukan.
EHR bukanlah sistem informasi yang dapat dibeli dan diinstall seperti paket word-processing atau sistem informasi pembayaran dan laboratorium yang secara langsung dapat dihubungkan dengan sistem informasi lain dan alat yang sesuai dalam lingkungan tertentu.
EHR merupakan sistem informasi yang memiliki framework lebih luas dan memenuhi satu set fungsi, menurut Amatayakul Magret K dalam bukunya Electronic Health Records: A Practical, Guide for Professionals and Organizations harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
WHO juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian EHR, yang berlandaskan pada beberapa perbedaan penerapan EHR di beberapa negara. Namun demikian, WHO menjelaskan bahwa EHR idealnya harus mampu:
Menurut Johan Harlan, komponen fungsional EHR, meliputi:
Untuk menunjang keberhasilan dalam membangun EHR di rumah sakit,
institusi dan vendor juga harus melihat dan mempertimbangkan komponen
dasar EHR seperti di bawah ini:
- Sistem administrasi
- Financial/keuangan
- Data klinis dari unit-unit
- Rules Engine, yang menyediakan program logic yang dapat dipakai untuk menunjang keputusan seperti; kewaspadaan dan pernyataan, daftar permintaan (order set) dan protokol klinis.
-
Sumber pengetahuan, yakni membuat informasi yang selalu tersedia bagi kepentingan sumber-sumber luar.
- Gudang data (data warehouse) data spesifik yang dapat diproses (yakni data agregat dan data yang akan dianalisis) yang menghasilkan informasi yang amat berguna.
-
Pengambilan keputusan untuk menunjang pelayanan kesehatan. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara apapun termasuk memasukkan dan mengeluarkan
data melalui: terminal komputer, komputer pribadi, PC, Notebook, PDA,
sistem pengenalan suara, tanda tangan dll.
Komponen dasar EHR dapat dilihat pada gambar 2, berikut ini:
IV. Strategi Implementasi dan Pengembangan EHR
Faktor yang mendukung adopsi EHR di saryankes:
- Butuh modal awal untuk investasi
- Penyelesaian dan instalasi perangkat lunak seringkali terlambat dari yang direncanakan
- Perbaikan untuk implementasi butuh tambahan biaya besar dan waktu yang lama
- Permasalahan pada pengembangan perangkat lunak meningkatkan resistensi lokal dan menurunkan produktivitas klininikus.
- Fokus utama administrator kesehatan tertuju pada sistem keuangan,
- Membutuhkan waktu yang lama untuk penanganan pasien khususnya dalam pengisian data
- Sistem EHR meningkatkan dokter menyelesaikan pengumpulan informasi secara intensif, tetapi sulit memfokuskan perhatian pada aspek komunikasi lain dengan pasien,
- EHR memerlukan terlalu banyak langkah untu menyelesaikan tugas sederhana,
- EHR tidak efektif mengakomodasi dengan masalah berganda,
- Dekstop di ruang periksa mengganggu arah posisi duduk dokter dan pasien,
- Keamanan desktop di ruang periksa tidak terjamin jika pengunjung membawa anak-anak yang sangat aktif.
Berdasarkan beberapa hal yang diketahui dalam implementasi EHR, maka diperlukan standar EHR untuk meningkatkan kualitas dan pengembangan kebijakan kesehatan, yaitu (1) Mengurangi biaya pengembangan, (2) Meningkatkan keterpaduan data, (3) Memfasilitasi pengumpulan data agregat yang bermakna.
Sebagai strategi dalam implementasi EHR yang pertama, yaitu perlu adanya pemilihan Sistem EHR di sarana pelayanan kesehatan, melalui tahapan:
Metode yang dapat digunakan untuk kebutuhan ini meliputi wawancara (dengan atau tanpa kuesioner) dan observasi terhadap kegiatan harian dalam lingkup yang akan dikembangkan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam tahap ini adalah untuk mengetahui:
- jenis informasi apa saja yang dibutuhkan oleh setiap pengguna
- siapa saja yang menggunakan informasi yang dihasilkan oleh sistem
- bagaimana informasi tersebut didayagunakan
- di tingkat mana saja dan dalam konteks apa saja informasi tersebut dibutuhkan
- media apa saja yang dibutuhkan dalam penangkapan data dan penyampaian informasinya.
Contoh informasi yang esensial tentang klien misalnya nama pasien, dokter yang merawat, dan informasi tentang asuransinya. Hal yang tidak dibutuhkan saat ini (wants) bisa ditelaah lagi apakah memang akan menjadi penting pada saat yang akan datang, misalnya penerapan teknologi pengenal suara/voice recognation.
Sebagai strategi lain dalam implementasi EHR, yaitu harus diantisipasi adanya kesalahan (error) yang mungkin terjadi, yakni error within dan error without.
- Data; perlu adanya standarisasi (alur data)
- Deployment; ujicoba sistem baru
- Development; fase pengembangan konstruksi dan verifikasi disain system
- Detection; Deteksi kesalahan perlu dilakukan
- Communication; diperlukan antar para pengguna (users)
- Complexity; banyaknya variasi komponen dan interface pada sistem RKE
- Corruption
- Conversion; terjadi pada penyatuan, pemisahan dan transformasi informasi ke media lain
Teknologi penunjang EHR merupakan strategi keberhasilan implementasi EHR, yaitu:
Modal atau investasi awal merupakan barrier utama dalam penerapan EHR. Kendala-kendala lain dalam penerapan EHR meliputi: (1) Physician resistance, (2) Lack of technology standards, (3) Staff workload.
Beberapa renponden juga menyatakan bahwa budaya pelayanan kesehatan masa kini merupakan barrier pada EHR. Berdasarkan survey ini juga dijelaskan bahwa perbedaan luas adopsi EHR memerlukan perubahan utama perilaku, aliran kerja (workflows), hubungan antara organisasi kesehatan. Para pimpinan menyarankan kepada pemerintah untuk:
- Mengembangkan standar teknologi (developed technology standards),
- Menyediakan subsidi keuangan untuk mendorong penerapan EHR (provide subsidies or tax credits to encourage adoption of EHRs),
- Menjalankan tugas (mandate compliance),
- Mengedukasi para dokter dan masyarakat tentang keuntungan EHR (educate physicians and the public about EHR benefits),
- Menetapkan departemen pusat untuk menyediakan pandangan secara nasional (establish a federal department to provide national oversight).
Peran profesional MIK yang akan datang mencakup: Manajer MIK, Spesialis data klinis, Koordinator informasi pasien, Manajer kualitas data, Manajer sekuritas informasi, Administrator sumber data, dan Riset dan spesialis penunjang keputusan.
Beberapa fungsi yang selama ini dilakukan oleh para praktisi RMIK, akan bergeser menjadi lebih sedikit dan sebagian lagi akan ditiadakan. Secara rinci beberapa fungsi dan pergeserannya akan dibahas pada artikel “Peran Profesional MIK dalam EHR” edisi yang akan datang.
Kunci sukses implementasi EHR di saryankes tidak terlepas dari peran serta pemerintah dalam menyiapkan kebijakan terkait dengan implementasi EHR antara lain: Standarisasi model EHR yang sesuai di sarana pelayanan kesehatan Indonesia, Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari UU ITE No. 11 tahun 2008 dan Pedoman pelaksanaan EHR di saryankes termasuk standarisasi istilah-istilah data dasar yang diperlukan dalam EHR.
Professional Rekam Medis dan Infomasi Kesehatan atau Manajemen Informasi Kesehatan (MIKI) wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang TIK untuk mengantisipasi beberapa peran professional MIK yang akan datang.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 telah memberikan jawaban atas keraguan yang ada. UU ITE telah memberikan peluang untuk implemetasi EHR. Artikel ini hasil studi pustaka tentang implementasi EHR, mencakup: studi kasus pemakaian EHR (Journal AHIMA), dampak EHR pada fungsi-fungsi Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) dan pengujian penerimaan EHR.
Kata kunci: UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Electronic Health Record (EHR), HIM (Health Information Management)
I. Latar Belakang
Penyelenggaraan Rekam Medis di rumah sakit Indonesia dimulai Tahun 1989 sejalan dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis, yang mana pengaturannya masih mencakup rekam medis berbasis kertas (konvensional). Rekam medis konvensional dianggap tidak tepat lagi untuk digunakan di abad 21 yang menggunakan informasi secara intensif dan lingkungan yang berorientasi pada otomatisasi pelayanan kesehatan dan bukan terpusat pada unit kerja semata.Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda dunia telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2004 – 2009 yang menjelaskan bahwa “Arah kebijakan Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi difokuskan pada enam bidang prioritas, antara lain pengembangan teknologi dan informasi dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik. Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.
Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EHR sudah banyak digunakan, namun belum mengatur mengenai EHR. Begitu pula Peraturan Menteri Kesehatan No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur mengenai EHR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut memberikan ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik (EHR).
Penyelenggaraan EHR di rumah sakit sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang semakin berkualitas, karena salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dengan EHR yaitu mencegah kejadian medical error melalui tiga mekanisme yaitu (1) pencegahan adverse event, (2) memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan (3) melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event. (Anis Fuad)
Keuntungan lain dari EHR yaitu dapat memberikan peringatan dan kewaspadaan klinik (clinical alerts and reminders), hubungan dengan sumber pengetahuan untuk menunjang keputusan layanan-kesehatan (health care decision support) dan analisis data agregat (Johan Harlan).
Selain itu dengan adanya EHR memungkinkan terselenggaranya komunikasi silang yang semakin kompleks antara sesama tenaga kesehatan dengan berbagai pihak yang sama-sama memberikan pelayanan kepada pasien di sarana pelayanan kesehatan, dan EHR juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan penting dalam mengukur keberhasilan program kesehatan di instansi pelayanan yang ada. (Menkes RI, 2005).
Saat ini di Indonesia tercatat sekitar 1300 RS dan ribuan puskesmas (Menkes RI) yang tentunya pemerintah perlu memikirkan rancangan induk (grand disain) EHR yang disusun secara strategis per regional meliputi wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat. Rancangan EHR tersebut tentunya harus dapat mengatasi hal-hal yang sering terjadi pada rekam medis berbasis kertas antara lain: (1) Aksesibilitas informasi kesehatan pasien belum real time, (2) kelengkapan, keakuratan dan keamanan informasi kesehatan pasien masih rendah, (3) Pemanfaatan data pasien dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di sarana pelayanan kesehatan oleh para pengelola sarana pelayanan kesehatan belum optimal, (4) Data pasien belum dioptimalkan oleh para tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan secara berkesinambungan dalam rangka pelayanan yang efektif dan efisien.
- II. Pengertian dan Kegunaan EHR
- A. Pengertian EHR
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan Nomor:269/Menkes/PER/III/2008 tentang rekam medis menjelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Bab I pasal 1).
Rekam medis yang memuat informasi evaluasi keadaan fisik dan riwayat penyakit pasien amat penting dalam perencanaan dan koordinasi pelayanan pasien, bagi evaluasi lanjut serta menjamin kontinuitas pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu kelengkapan, keakuratan dan ketepatan waktu pengisian harus diupayakan dalam organisasi kesehatan karena amat penting bagi kelayakan tindakan pelayanan dan rujukan.
EHR bukanlah sistem informasi yang dapat dibeli dan diinstall seperti paket word-processing atau sistem informasi pembayaran dan laboratorium yang secara langsung dapat dihubungkan dengan sistem informasi lain dan alat yang sesuai dalam lingkungan tertentu.
EHR merupakan sistem informasi yang memiliki framework lebih luas dan memenuhi satu set fungsi, menurut Amatayakul Magret K dalam bukunya Electronic Health Records: A Practical, Guide for Professionals and Organizations harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Mengintegrasikan data dari berbagai sumber (Integrated data from multiple source)
- Mengumpulkan data pada titik pelayanan (Capture data at the point of care)
- Mendukung pemberi pelayanan dalam pengambilan keputusan (Support caregiver decision making).
WHO juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian EHR, yang berlandaskan pada beberapa perbedaan penerapan EHR di beberapa negara. Namun demikian, WHO menjelaskan bahwa EHR idealnya harus mampu:
- Collect clinical, administrative and financial data at the point time;
- Exchange data more easily between health professionals to facilitate continuing care;
- Measure clinical improvement and health outcomes, compare the outcomes againts benchmarks and facilitate research and clinical trials;
- Provide valuable statistical data in a timely and efficient manner to public health and goverment ministries (such reporting of health data is important in the detection and monitoring of disease outbreaks, as well as providing meaningful and accurate statistics to measure the health status of the population; and Support management in administrative and financial reporting and other processes.
- B. Komponen EHR
Menurut Johan Harlan, komponen fungsional EHR, meliputi:
- Data pasien terintegrasi
- Dukungan keputusan klinik
- Pemasukan perintah klinikus
- Akses terhadap sumber pengetahuan
- Dukungan komunikasi terpadu
|
- Sistem Sumber
- Sistem administrasi
- Financial/keuangan
- Data klinis dari unit-unit
- Pengintegrasian data
- Rules Engine, yang menyediakan program logic yang dapat dipakai untuk menunjang keputusan seperti; kewaspadaan dan pernyataan, daftar permintaan (order set) dan protokol klinis.
-
|
- Gudang data (data warehouse) data spesifik yang dapat diproses (yakni data agregat dan data yang akan dianalisis) yang menghasilkan informasi yang amat berguna.
- c. Human interface
-
|
Komponen dasar EHR dapat dilihat pada gambar 2, berikut ini:
III. Implementasi EHR di Saryankes
Salah satu aspek yang paling sulit dalam menerapkan EHR adalah pada tahapan implementasi. Ada beberapa alternatif implementasi yaitu:- Implementasi seluruh fungsi di semua unit (instalasi) pada saat yang sama secara menyeluruh di rumah sakit,
- Implementasi seluruh fungsi pada satu unit (instalasi). Jika di lokasi tersebut sudah stabil, kemudian dilanjutkan ke seluruh lokasi lain pada saat yang sama,
- Implementasi fungsi-fungsi terbatas pada seluruh unit (instalasi), misalnya permintaan tes laboratorium secara elektronik. Jika fungsi ini sudah menjadi bagian dari kegiatan klinik secara rutin, kemudian menerapkan lebih banyak fungsi lagi,
- Kombinasi dari pendekatan-pendekatan di atas, misalnya menerapkan fungsi terbatas pada satu lokasi. Jika fungsi tersebut sudah stabil, kemudian memperluas berbagai fungsi pada lokasi tersebut dan kemudian diperluas ke berbagai unit di seluruh rumah sakit.
- Pencegahan adverse event,
- Memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan
- Melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event. (Anis Fuad)
- Membutuhkan investasi awal yang lebih besar daripada rekam medis kertas, untuk perangkat keras, perangkat lunak dan biaya penunjang
- Waktu yang diperlukan oleh key person dan dokter untuk mempelajari sistem dan merancang ulang alur kerja.
- Konversi rekam medis kertas ke EHR membutuhkan waktu, sumber daya, tekad dan kepemimpinan
- Risiko kegagalan sistem komputer
- Masalah pemasukan data oleh dokter
- Analisis data agregat
- Pemasukan data (data entry), meliputi: pengambilan data (data capture), input data, pencegahan error, data entry oleh dokter,
- Tampilan data (data display), meliputi: flowsheet data pasien, Ringkasan dan abstrak, turnaround documents, tampilan dinamik,
- Sistem kuiri (tanya; query) dan surveilans, meliputi pelayanan klinik, penelitian klinik, studi retrospektif dan administrasi.
IV. Strategi Implementasi dan Pengembangan EHR
Faktor yang mendukung adopsi EHR di saryankes:
- Perubahan ekonomi kesehatan dengan adanya trend untuk melakukan penghematan,
- Peningkatan komputer literacy dalam populasi umum, termasuk generasi baru klinikus,
- Perubahan kebijakan pemerintah,
- Peningkatan dukungan terhadap komputasi klinik.
- Pihak Manajemen RS
- Butuh modal awal untuk investasi
- Penyelesaian dan instalasi perangkat lunak seringkali terlambat dari yang direncanakan
- Perbaikan untuk implementasi butuh tambahan biaya besar dan waktu yang lama
- Permasalahan pada pengembangan perangkat lunak meningkatkan resistensi lokal dan menurunkan produktivitas klininikus.
- Pihak Klinikus
- Fokus utama administrator kesehatan tertuju pada sistem keuangan,
- Membutuhkan waktu yang lama untuk penanganan pasien khususnya dalam pengisian data
- Sistem EHR meningkatkan dokter menyelesaikan pengumpulan informasi secara intensif, tetapi sulit memfokuskan perhatian pada aspek komunikasi lain dengan pasien,
- EHR memerlukan terlalu banyak langkah untu menyelesaikan tugas sederhana,
- EHR tidak efektif mengakomodasi dengan masalah berganda,
- Dekstop di ruang periksa mengganggu arah posisi duduk dokter dan pasien,
- Keamanan desktop di ruang periksa tidak terjamin jika pengunjung membawa anak-anak yang sangat aktif.
Berdasarkan beberapa hal yang diketahui dalam implementasi EHR, maka diperlukan standar EHR untuk meningkatkan kualitas dan pengembangan kebijakan kesehatan, yaitu (1) Mengurangi biaya pengembangan, (2) Meningkatkan keterpaduan data, (3) Memfasilitasi pengumpulan data agregat yang bermakna.
Sebagai strategi dalam implementasi EHR yang pertama, yaitu perlu adanya pemilihan Sistem EHR di sarana pelayanan kesehatan, melalui tahapan:
- Penelusuran kebutuhan
- Tim kerja/komite
- Konsultan
- Pengembangan visi
- Pemahaman sistem yang ada
Metode yang dapat digunakan untuk kebutuhan ini meliputi wawancara (dengan atau tanpa kuesioner) dan observasi terhadap kegiatan harian dalam lingkup yang akan dikembangkan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam tahap ini adalah untuk mengetahui:
- jenis informasi apa saja yang dibutuhkan oleh setiap pengguna
- siapa saja yang menggunakan informasi yang dihasilkan oleh sistem
- bagaimana informasi tersebut didayagunakan
- di tingkat mana saja dan dalam konteks apa saja informasi tersebut dibutuhkan
- media apa saja yang dibutuhkan dalam penangkapan data dan penyampaian informasinya.
- Penentuan kebutuhan sistem
Contoh informasi yang esensial tentang klien misalnya nama pasien, dokter yang merawat, dan informasi tentang asuransinya. Hal yang tidak dibutuhkan saat ini (wants) bisa ditelaah lagi apakah memang akan menjadi penting pada saat yang akan datang, misalnya penerapan teknologi pengenal suara/voice recognation.
Sebagai strategi lain dalam implementasi EHR, yaitu harus diantisipasi adanya kesalahan (error) yang mungkin terjadi, yakni error within dan error without.
- The Errors Within (Intrinsic risk factors): Intrinsic risk factors are anticipated sources of errors, which are within the control of the information producer or user, include:
- Data; perlu adanya standarisasi (alur data)
- Deployment; ujicoba sistem baru
- Development; fase pengembangan konstruksi dan verifikasi disain system
- Detection; Deteksi kesalahan perlu dilakukan
- 2. The Errors Without (Extrinsic risk factors): Extrinsic risk factors are unanticipated errors caused by factors outsides of the system and beyond the control of information producers or users, include:
- Communication; diperlukan antar para pengguna (users)
- Complexity; banyaknya variasi komponen dan interface pada sistem RKE
- Corruption
- Conversion; terjadi pada penyatuan, pemisahan dan transformasi informasi ke media lain
Teknologi penunjang EHR merupakan strategi keberhasilan implementasi EHR, yaitu:
- Teknologi dan Kualitas Data; teknologi dan database serta manajemen basis data
- Aplikasi
- Pelayanan rawat jalan
- Pelayanan rawat inap
- Penunjang diagnostik
- Lain-lain: registrasi, statistik kesehatan, riset dan epidemiologi dll
- Tipe Data, Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
- Tipe Data: tulisan, angka, suara, image/film, video, gambar, tanda (EEG dan ECT)
- Perangkat keras (Hardware); pheriperal equipment (CD Rom), Data input device (workstation dan PC), Output Devicenya (printer dan modem)
- Perangkat lunak (Software); programming language, database.
- Lain-lain.
Modal atau investasi awal merupakan barrier utama dalam penerapan EHR. Kendala-kendala lain dalam penerapan EHR meliputi: (1) Physician resistance, (2) Lack of technology standards, (3) Staff workload.
Beberapa renponden juga menyatakan bahwa budaya pelayanan kesehatan masa kini merupakan barrier pada EHR. Berdasarkan survey ini juga dijelaskan bahwa perbedaan luas adopsi EHR memerlukan perubahan utama perilaku, aliran kerja (workflows), hubungan antara organisasi kesehatan. Para pimpinan menyarankan kepada pemerintah untuk:
- Mengembangkan standar teknologi (developed technology standards),
- Menyediakan subsidi keuangan untuk mendorong penerapan EHR (provide subsidies or tax credits to encourage adoption of EHRs),
- Menjalankan tugas (mandate compliance),
- Mengedukasi para dokter dan masyarakat tentang keuntungan EHR (educate physicians and the public about EHR benefits),
- Menetapkan departemen pusat untuk menyediakan pandangan secara nasional (establish a federal department to provide national oversight).
V. Change in the HIM Department
Implementasi EHR di Sarana Pelayanan Kesehatan yang saat ini menjadi isu hangat akan berdampak di dalam perubahan penyelenggaraan unit kerja Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (HIM Deparment). Unit kerja RMIK semula yang berbasis ruang kerja ke depan akan menjadi “Department without Walls”, “No handling of paper charts, no filing of loose sheets, and no photocopying of records” and Coding of diagnoses and procedures is already being performed successfully online.Peran profesional MIK yang akan datang mencakup: Manajer MIK, Spesialis data klinis, Koordinator informasi pasien, Manajer kualitas data, Manajer sekuritas informasi, Administrator sumber data, dan Riset dan spesialis penunjang keputusan.
Beberapa fungsi yang selama ini dilakukan oleh para praktisi RMIK, akan bergeser menjadi lebih sedikit dan sebagian lagi akan ditiadakan. Secara rinci beberapa fungsi dan pergeserannya akan dibahas pada artikel “Peran Profesional MIK dalam EHR” edisi yang akan datang.
VI. Penutup
Implementasi EHR merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan bagi setiap sarana pelayanan kesehatan yang dipicu oleh peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Untuk itu diperlukan pemahaman bersama dalam strategi imlementasi EHR.Kunci sukses implementasi EHR di saryankes tidak terlepas dari peran serta pemerintah dalam menyiapkan kebijakan terkait dengan implementasi EHR antara lain: Standarisasi model EHR yang sesuai di sarana pelayanan kesehatan Indonesia, Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari UU ITE No. 11 tahun 2008 dan Pedoman pelaksanaan EHR di saryankes termasuk standarisasi istilah-istilah data dasar yang diperlukan dalam EHR.
Professional Rekam Medis dan Infomasi Kesehatan atau Manajemen Informasi Kesehatan (MIKI) wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang TIK untuk mengantisipasi beberapa peran professional MIK yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar