My Writing
Jumat, 25 Januari 2013
ELECTRONIC HEALTH RECORD (EHR) atau REKAM KESEHATAN ELEKTRONIK: Change in the HIM Department
Electronic Health Record (EHR) sudah banyak digunakan di
berbagai rumah sakit di dunia sebagai pengganti atau pelengkap rekam
kesehatan berbentuk kertas. Di Indonesia dikenal dengan Rekam Kesehatan
Elektronik (RKE). Sejak berkembangnya e-Health, EHR menjadi
jantung informasi dalam sistem informasi rumah sakit. EHR sudah mulai
digunakan di beberapa rumah sakit di Indonesia khususnya rumah sakit
dengan penanam modal asing (PMA), namun demikian para tenaga kesehatan
dan pengelola sarana pelayanan kesehatan masih ragu untuk menggunakannya
karena belum ada peraturan perundangan yang secara khusus mengatur
penggunaannya.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 telah memberikan jawaban atas keraguan yang ada. UU ITE telah memberikan peluang untuk implemetasi EHR. Artikel ini hasil studi pustaka tentang implementasi EHR, mencakup: studi kasus pemakaian EHR (Journal AHIMA), dampak EHR pada fungsi-fungsi Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) dan pengujian penerimaan EHR.
Kata kunci: UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Electronic Health Record (EHR), HIM (Health Information Management)
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda dunia telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2004 – 2009 yang menjelaskan bahwa “Arah kebijakan Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi difokuskan pada enam bidang prioritas, antara lain pengembangan teknologi dan informasi dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik. Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.
Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EHR sudah banyak digunakan, namun belum mengatur mengenai EHR. Begitu pula Peraturan Menteri Kesehatan No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur mengenai EHR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut memberikan ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik (EHR).
Penyelenggaraan EHR di rumah sakit sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang semakin berkualitas, karena salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dengan EHR yaitu mencegah kejadian medical error melalui tiga mekanisme yaitu (1) pencegahan adverse event, (2) memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan (3) melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event. (Anis Fuad)
Keuntungan lain dari EHR yaitu dapat memberikan peringatan dan kewaspadaan klinik (clinical alerts and reminders), hubungan dengan sumber pengetahuan untuk menunjang keputusan layanan-kesehatan (health care decision support) dan analisis data agregat (Johan Harlan).
Selain itu dengan adanya EHR memungkinkan terselenggaranya komunikasi silang yang semakin kompleks antara sesama tenaga kesehatan dengan berbagai pihak yang sama-sama memberikan pelayanan kepada pasien di sarana pelayanan kesehatan, dan EHR juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan penting dalam mengukur keberhasilan program kesehatan di instansi pelayanan yang ada. (Menkes RI, 2005).
Saat ini di Indonesia tercatat sekitar 1300 RS dan ribuan puskesmas (Menkes RI) yang tentunya pemerintah perlu memikirkan rancangan induk (grand disain) EHR yang disusun secara strategis per regional meliputi wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat. Rancangan EHR tersebut tentunya harus dapat mengatasi hal-hal yang sering terjadi pada rekam medis berbasis kertas antara lain: (1) Aksesibilitas informasi kesehatan pasien belum real time, (2) kelengkapan, keakuratan dan keamanan informasi kesehatan pasien masih rendah, (3) Pemanfaatan data pasien dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di sarana pelayanan kesehatan oleh para pengelola sarana pelayanan kesehatan belum optimal, (4) Data pasien belum dioptimalkan oleh para tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan secara berkesinambungan dalam rangka pelayanan yang efektif dan efisien.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan Nomor:269/Menkes/PER/III/2008 tentang rekam medis menjelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Bab I pasal 1).
Rekam medis yang memuat informasi evaluasi keadaan fisik dan riwayat penyakit pasien amat penting dalam perencanaan dan koordinasi pelayanan pasien, bagi evaluasi lanjut serta menjamin kontinuitas pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu kelengkapan, keakuratan dan ketepatan waktu pengisian harus diupayakan dalam organisasi kesehatan karena amat penting bagi kelayakan tindakan pelayanan dan rujukan.
EHR bukanlah sistem informasi yang dapat dibeli dan diinstall seperti paket word-processing atau sistem informasi pembayaran dan laboratorium yang secara langsung dapat dihubungkan dengan sistem informasi lain dan alat yang sesuai dalam lingkungan tertentu.
EHR merupakan sistem informasi yang memiliki framework lebih luas dan memenuhi satu set fungsi, menurut Amatayakul Magret K dalam bukunya Electronic Health Records: A Practical, Guide for Professionals and Organizations harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
WHO juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian EHR, yang berlandaskan pada beberapa perbedaan penerapan EHR di beberapa negara. Namun demikian, WHO menjelaskan bahwa EHR idealnya harus mampu:
Menurut Johan Harlan, komponen fungsional EHR, meliputi:
Untuk menunjang keberhasilan dalam membangun EHR di rumah sakit,
institusi dan vendor juga harus melihat dan mempertimbangkan komponen
dasar EHR seperti di bawah ini:
- Sistem administrasi
- Financial/keuangan
- Data klinis dari unit-unit
- Rules Engine, yang menyediakan program logic yang dapat dipakai untuk menunjang keputusan seperti; kewaspadaan dan pernyataan, daftar permintaan (order set) dan protokol klinis.
-
Sumber pengetahuan, yakni membuat informasi yang selalu tersedia bagi kepentingan sumber-sumber luar.
- Gudang data (data warehouse) data spesifik yang dapat diproses (yakni data agregat dan data yang akan dianalisis) yang menghasilkan informasi yang amat berguna.
-
Pengambilan keputusan untuk menunjang pelayanan kesehatan. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara apapun termasuk memasukkan dan mengeluarkan
data melalui: terminal komputer, komputer pribadi, PC, Notebook, PDA,
sistem pengenalan suara, tanda tangan dll.
Komponen dasar EHR dapat dilihat pada gambar 2, berikut ini:
IV. Strategi Implementasi dan Pengembangan EHR
Faktor yang mendukung adopsi EHR di saryankes:
- Butuh modal awal untuk investasi
- Penyelesaian dan instalasi perangkat lunak seringkali terlambat dari yang direncanakan
- Perbaikan untuk implementasi butuh tambahan biaya besar dan waktu yang lama
- Permasalahan pada pengembangan perangkat lunak meningkatkan resistensi lokal dan menurunkan produktivitas klininikus.
- Fokus utama administrator kesehatan tertuju pada sistem keuangan,
- Membutuhkan waktu yang lama untuk penanganan pasien khususnya dalam pengisian data
- Sistem EHR meningkatkan dokter menyelesaikan pengumpulan informasi secara intensif, tetapi sulit memfokuskan perhatian pada aspek komunikasi lain dengan pasien,
- EHR memerlukan terlalu banyak langkah untu menyelesaikan tugas sederhana,
- EHR tidak efektif mengakomodasi dengan masalah berganda,
- Dekstop di ruang periksa mengganggu arah posisi duduk dokter dan pasien,
- Keamanan desktop di ruang periksa tidak terjamin jika pengunjung membawa anak-anak yang sangat aktif.
Berdasarkan beberapa hal yang diketahui dalam implementasi EHR, maka diperlukan standar EHR untuk meningkatkan kualitas dan pengembangan kebijakan kesehatan, yaitu (1) Mengurangi biaya pengembangan, (2) Meningkatkan keterpaduan data, (3) Memfasilitasi pengumpulan data agregat yang bermakna.
Sebagai strategi dalam implementasi EHR yang pertama, yaitu perlu adanya pemilihan Sistem EHR di sarana pelayanan kesehatan, melalui tahapan:
Metode yang dapat digunakan untuk kebutuhan ini meliputi wawancara (dengan atau tanpa kuesioner) dan observasi terhadap kegiatan harian dalam lingkup yang akan dikembangkan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam tahap ini adalah untuk mengetahui:
- jenis informasi apa saja yang dibutuhkan oleh setiap pengguna
- siapa saja yang menggunakan informasi yang dihasilkan oleh sistem
- bagaimana informasi tersebut didayagunakan
- di tingkat mana saja dan dalam konteks apa saja informasi tersebut dibutuhkan
- media apa saja yang dibutuhkan dalam penangkapan data dan penyampaian informasinya.
Contoh informasi yang esensial tentang klien misalnya nama pasien, dokter yang merawat, dan informasi tentang asuransinya. Hal yang tidak dibutuhkan saat ini (wants) bisa ditelaah lagi apakah memang akan menjadi penting pada saat yang akan datang, misalnya penerapan teknologi pengenal suara/voice recognation.
Sebagai strategi lain dalam implementasi EHR, yaitu harus diantisipasi adanya kesalahan (error) yang mungkin terjadi, yakni error within dan error without.
- Data; perlu adanya standarisasi (alur data)
- Deployment; ujicoba sistem baru
- Development; fase pengembangan konstruksi dan verifikasi disain system
- Detection; Deteksi kesalahan perlu dilakukan
- Communication; diperlukan antar para pengguna (users)
- Complexity; banyaknya variasi komponen dan interface pada sistem RKE
- Corruption
- Conversion; terjadi pada penyatuan, pemisahan dan transformasi informasi ke media lain
Teknologi penunjang EHR merupakan strategi keberhasilan implementasi EHR, yaitu:
Modal atau investasi awal merupakan barrier utama dalam penerapan EHR. Kendala-kendala lain dalam penerapan EHR meliputi: (1) Physician resistance, (2) Lack of technology standards, (3) Staff workload.
Beberapa renponden juga menyatakan bahwa budaya pelayanan kesehatan masa kini merupakan barrier pada EHR. Berdasarkan survey ini juga dijelaskan bahwa perbedaan luas adopsi EHR memerlukan perubahan utama perilaku, aliran kerja (workflows), hubungan antara organisasi kesehatan. Para pimpinan menyarankan kepada pemerintah untuk:
- Mengembangkan standar teknologi (developed technology standards),
- Menyediakan subsidi keuangan untuk mendorong penerapan EHR (provide subsidies or tax credits to encourage adoption of EHRs),
- Menjalankan tugas (mandate compliance),
- Mengedukasi para dokter dan masyarakat tentang keuntungan EHR (educate physicians and the public about EHR benefits),
- Menetapkan departemen pusat untuk menyediakan pandangan secara nasional (establish a federal department to provide national oversight).
Peran profesional MIK yang akan datang mencakup: Manajer MIK, Spesialis data klinis, Koordinator informasi pasien, Manajer kualitas data, Manajer sekuritas informasi, Administrator sumber data, dan Riset dan spesialis penunjang keputusan.
Beberapa fungsi yang selama ini dilakukan oleh para praktisi RMIK, akan bergeser menjadi lebih sedikit dan sebagian lagi akan ditiadakan. Secara rinci beberapa fungsi dan pergeserannya akan dibahas pada artikel “Peran Profesional MIK dalam EHR” edisi yang akan datang.
Kunci sukses implementasi EHR di saryankes tidak terlepas dari peran serta pemerintah dalam menyiapkan kebijakan terkait dengan implementasi EHR antara lain: Standarisasi model EHR yang sesuai di sarana pelayanan kesehatan Indonesia, Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari UU ITE No. 11 tahun 2008 dan Pedoman pelaksanaan EHR di saryankes termasuk standarisasi istilah-istilah data dasar yang diperlukan dalam EHR.
Professional Rekam Medis dan Infomasi Kesehatan atau Manajemen Informasi Kesehatan (MIKI) wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang TIK untuk mengantisipasi beberapa peran professional MIK yang akan datang.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 telah memberikan jawaban atas keraguan yang ada. UU ITE telah memberikan peluang untuk implemetasi EHR. Artikel ini hasil studi pustaka tentang implementasi EHR, mencakup: studi kasus pemakaian EHR (Journal AHIMA), dampak EHR pada fungsi-fungsi Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) dan pengujian penerimaan EHR.
Kata kunci: UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Electronic Health Record (EHR), HIM (Health Information Management)
I. Latar Belakang
Penyelenggaraan Rekam Medis di rumah sakit Indonesia dimulai Tahun 1989 sejalan dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/Menkes/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis, yang mana pengaturannya masih mencakup rekam medis berbasis kertas (konvensional). Rekam medis konvensional dianggap tidak tepat lagi untuk digunakan di abad 21 yang menggunakan informasi secara intensif dan lingkungan yang berorientasi pada otomatisasi pelayanan kesehatan dan bukan terpusat pada unit kerja semata.Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda dunia telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan. Hal ini sesuai dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2004 – 2009 yang menjelaskan bahwa “Arah kebijakan Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi difokuskan pada enam bidang prioritas, antara lain pengembangan teknologi dan informasi dan pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Salah satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik. Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.
Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EHR sudah banyak digunakan, namun belum mengatur mengenai EHR. Begitu pula Peraturan Menteri Kesehatan No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur mengenai EHR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut memberikan ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik (EHR).
Penyelenggaraan EHR di rumah sakit sejalan dengan adanya tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang semakin berkualitas, karena salah satu keuntungan yang dapat diperoleh dengan EHR yaitu mencegah kejadian medical error melalui tiga mekanisme yaitu (1) pencegahan adverse event, (2) memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan (3) melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event. (Anis Fuad)
Keuntungan lain dari EHR yaitu dapat memberikan peringatan dan kewaspadaan klinik (clinical alerts and reminders), hubungan dengan sumber pengetahuan untuk menunjang keputusan layanan-kesehatan (health care decision support) dan analisis data agregat (Johan Harlan).
Selain itu dengan adanya EHR memungkinkan terselenggaranya komunikasi silang yang semakin kompleks antara sesama tenaga kesehatan dengan berbagai pihak yang sama-sama memberikan pelayanan kepada pasien di sarana pelayanan kesehatan, dan EHR juga dapat digunakan sebagai salah satu masukan penting dalam mengukur keberhasilan program kesehatan di instansi pelayanan yang ada. (Menkes RI, 2005).
Saat ini di Indonesia tercatat sekitar 1300 RS dan ribuan puskesmas (Menkes RI) yang tentunya pemerintah perlu memikirkan rancangan induk (grand disain) EHR yang disusun secara strategis per regional meliputi wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat. Rancangan EHR tersebut tentunya harus dapat mengatasi hal-hal yang sering terjadi pada rekam medis berbasis kertas antara lain: (1) Aksesibilitas informasi kesehatan pasien belum real time, (2) kelengkapan, keakuratan dan keamanan informasi kesehatan pasien masih rendah, (3) Pemanfaatan data pasien dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di sarana pelayanan kesehatan oleh para pengelola sarana pelayanan kesehatan belum optimal, (4) Data pasien belum dioptimalkan oleh para tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan secara berkesinambungan dalam rangka pelayanan yang efektif dan efisien.
- II. Pengertian dan Kegunaan EHR
- A. Pengertian EHR
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan Nomor:269/Menkes/PER/III/2008 tentang rekam medis menjelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Bab I pasal 1).
Rekam medis yang memuat informasi evaluasi keadaan fisik dan riwayat penyakit pasien amat penting dalam perencanaan dan koordinasi pelayanan pasien, bagi evaluasi lanjut serta menjamin kontinuitas pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu kelengkapan, keakuratan dan ketepatan waktu pengisian harus diupayakan dalam organisasi kesehatan karena amat penting bagi kelayakan tindakan pelayanan dan rujukan.
EHR bukanlah sistem informasi yang dapat dibeli dan diinstall seperti paket word-processing atau sistem informasi pembayaran dan laboratorium yang secara langsung dapat dihubungkan dengan sistem informasi lain dan alat yang sesuai dalam lingkungan tertentu.
EHR merupakan sistem informasi yang memiliki framework lebih luas dan memenuhi satu set fungsi, menurut Amatayakul Magret K dalam bukunya Electronic Health Records: A Practical, Guide for Professionals and Organizations harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Mengintegrasikan data dari berbagai sumber (Integrated data from multiple source)
- Mengumpulkan data pada titik pelayanan (Capture data at the point of care)
- Mendukung pemberi pelayanan dalam pengambilan keputusan (Support caregiver decision making).
WHO juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian EHR, yang berlandaskan pada beberapa perbedaan penerapan EHR di beberapa negara. Namun demikian, WHO menjelaskan bahwa EHR idealnya harus mampu:
- Collect clinical, administrative and financial data at the point time;
- Exchange data more easily between health professionals to facilitate continuing care;
- Measure clinical improvement and health outcomes, compare the outcomes againts benchmarks and facilitate research and clinical trials;
- Provide valuable statistical data in a timely and efficient manner to public health and goverment ministries (such reporting of health data is important in the detection and monitoring of disease outbreaks, as well as providing meaningful and accurate statistics to measure the health status of the population; and Support management in administrative and financial reporting and other processes.
- B. Komponen EHR
Menurut Johan Harlan, komponen fungsional EHR, meliputi:
- Data pasien terintegrasi
- Dukungan keputusan klinik
- Pemasukan perintah klinikus
- Akses terhadap sumber pengetahuan
- Dukungan komunikasi terpadu
|
- Sistem Sumber
- Sistem administrasi
- Financial/keuangan
- Data klinis dari unit-unit
- Pengintegrasian data
- Rules Engine, yang menyediakan program logic yang dapat dipakai untuk menunjang keputusan seperti; kewaspadaan dan pernyataan, daftar permintaan (order set) dan protokol klinis.
-
|
- Gudang data (data warehouse) data spesifik yang dapat diproses (yakni data agregat dan data yang akan dianalisis) yang menghasilkan informasi yang amat berguna.
- c. Human interface
-
|
Komponen dasar EHR dapat dilihat pada gambar 2, berikut ini:
III. Implementasi EHR di Saryankes
Salah satu aspek yang paling sulit dalam menerapkan EHR adalah pada tahapan implementasi. Ada beberapa alternatif implementasi yaitu:- Implementasi seluruh fungsi di semua unit (instalasi) pada saat yang sama secara menyeluruh di rumah sakit,
- Implementasi seluruh fungsi pada satu unit (instalasi). Jika di lokasi tersebut sudah stabil, kemudian dilanjutkan ke seluruh lokasi lain pada saat yang sama,
- Implementasi fungsi-fungsi terbatas pada seluruh unit (instalasi), misalnya permintaan tes laboratorium secara elektronik. Jika fungsi ini sudah menjadi bagian dari kegiatan klinik secara rutin, kemudian menerapkan lebih banyak fungsi lagi,
- Kombinasi dari pendekatan-pendekatan di atas, misalnya menerapkan fungsi terbatas pada satu lokasi. Jika fungsi tersebut sudah stabil, kemudian memperluas berbagai fungsi pada lokasi tersebut dan kemudian diperluas ke berbagai unit di seluruh rumah sakit.
- Pencegahan adverse event,
- Memberikan respon cepat segera setelah terjadinya adverse event dan
- Melacak serta menyediakan umpan balik mengenai adverse event. (Anis Fuad)
- Membutuhkan investasi awal yang lebih besar daripada rekam medis kertas, untuk perangkat keras, perangkat lunak dan biaya penunjang
- Waktu yang diperlukan oleh key person dan dokter untuk mempelajari sistem dan merancang ulang alur kerja.
- Konversi rekam medis kertas ke EHR membutuhkan waktu, sumber daya, tekad dan kepemimpinan
- Risiko kegagalan sistem komputer
- Masalah pemasukan data oleh dokter
- Analisis data agregat
- Pemasukan data (data entry), meliputi: pengambilan data (data capture), input data, pencegahan error, data entry oleh dokter,
- Tampilan data (data display), meliputi: flowsheet data pasien, Ringkasan dan abstrak, turnaround documents, tampilan dinamik,
- Sistem kuiri (tanya; query) dan surveilans, meliputi pelayanan klinik, penelitian klinik, studi retrospektif dan administrasi.
IV. Strategi Implementasi dan Pengembangan EHR
Faktor yang mendukung adopsi EHR di saryankes:
- Perubahan ekonomi kesehatan dengan adanya trend untuk melakukan penghematan,
- Peningkatan komputer literacy dalam populasi umum, termasuk generasi baru klinikus,
- Perubahan kebijakan pemerintah,
- Peningkatan dukungan terhadap komputasi klinik.
- Pihak Manajemen RS
- Butuh modal awal untuk investasi
- Penyelesaian dan instalasi perangkat lunak seringkali terlambat dari yang direncanakan
- Perbaikan untuk implementasi butuh tambahan biaya besar dan waktu yang lama
- Permasalahan pada pengembangan perangkat lunak meningkatkan resistensi lokal dan menurunkan produktivitas klininikus.
- Pihak Klinikus
- Fokus utama administrator kesehatan tertuju pada sistem keuangan,
- Membutuhkan waktu yang lama untuk penanganan pasien khususnya dalam pengisian data
- Sistem EHR meningkatkan dokter menyelesaikan pengumpulan informasi secara intensif, tetapi sulit memfokuskan perhatian pada aspek komunikasi lain dengan pasien,
- EHR memerlukan terlalu banyak langkah untu menyelesaikan tugas sederhana,
- EHR tidak efektif mengakomodasi dengan masalah berganda,
- Dekstop di ruang periksa mengganggu arah posisi duduk dokter dan pasien,
- Keamanan desktop di ruang periksa tidak terjamin jika pengunjung membawa anak-anak yang sangat aktif.
Berdasarkan beberapa hal yang diketahui dalam implementasi EHR, maka diperlukan standar EHR untuk meningkatkan kualitas dan pengembangan kebijakan kesehatan, yaitu (1) Mengurangi biaya pengembangan, (2) Meningkatkan keterpaduan data, (3) Memfasilitasi pengumpulan data agregat yang bermakna.
Sebagai strategi dalam implementasi EHR yang pertama, yaitu perlu adanya pemilihan Sistem EHR di sarana pelayanan kesehatan, melalui tahapan:
- Penelusuran kebutuhan
- Tim kerja/komite
- Konsultan
- Pengembangan visi
- Pemahaman sistem yang ada
Metode yang dapat digunakan untuk kebutuhan ini meliputi wawancara (dengan atau tanpa kuesioner) dan observasi terhadap kegiatan harian dalam lingkup yang akan dikembangkan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam tahap ini adalah untuk mengetahui:
- jenis informasi apa saja yang dibutuhkan oleh setiap pengguna
- siapa saja yang menggunakan informasi yang dihasilkan oleh sistem
- bagaimana informasi tersebut didayagunakan
- di tingkat mana saja dan dalam konteks apa saja informasi tersebut dibutuhkan
- media apa saja yang dibutuhkan dalam penangkapan data dan penyampaian informasinya.
- Penentuan kebutuhan sistem
Contoh informasi yang esensial tentang klien misalnya nama pasien, dokter yang merawat, dan informasi tentang asuransinya. Hal yang tidak dibutuhkan saat ini (wants) bisa ditelaah lagi apakah memang akan menjadi penting pada saat yang akan datang, misalnya penerapan teknologi pengenal suara/voice recognation.
Sebagai strategi lain dalam implementasi EHR, yaitu harus diantisipasi adanya kesalahan (error) yang mungkin terjadi, yakni error within dan error without.
- The Errors Within (Intrinsic risk factors): Intrinsic risk factors are anticipated sources of errors, which are within the control of the information producer or user, include:
- Data; perlu adanya standarisasi (alur data)
- Deployment; ujicoba sistem baru
- Development; fase pengembangan konstruksi dan verifikasi disain system
- Detection; Deteksi kesalahan perlu dilakukan
- 2. The Errors Without (Extrinsic risk factors): Extrinsic risk factors are unanticipated errors caused by factors outsides of the system and beyond the control of information producers or users, include:
- Communication; diperlukan antar para pengguna (users)
- Complexity; banyaknya variasi komponen dan interface pada sistem RKE
- Corruption
- Conversion; terjadi pada penyatuan, pemisahan dan transformasi informasi ke media lain
Teknologi penunjang EHR merupakan strategi keberhasilan implementasi EHR, yaitu:
- Teknologi dan Kualitas Data; teknologi dan database serta manajemen basis data
- Aplikasi
- Pelayanan rawat jalan
- Pelayanan rawat inap
- Penunjang diagnostik
- Lain-lain: registrasi, statistik kesehatan, riset dan epidemiologi dll
- Tipe Data, Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
- Tipe Data: tulisan, angka, suara, image/film, video, gambar, tanda (EEG dan ECT)
- Perangkat keras (Hardware); pheriperal equipment (CD Rom), Data input device (workstation dan PC), Output Devicenya (printer dan modem)
- Perangkat lunak (Software); programming language, database.
- Lain-lain.
Modal atau investasi awal merupakan barrier utama dalam penerapan EHR. Kendala-kendala lain dalam penerapan EHR meliputi: (1) Physician resistance, (2) Lack of technology standards, (3) Staff workload.
Beberapa renponden juga menyatakan bahwa budaya pelayanan kesehatan masa kini merupakan barrier pada EHR. Berdasarkan survey ini juga dijelaskan bahwa perbedaan luas adopsi EHR memerlukan perubahan utama perilaku, aliran kerja (workflows), hubungan antara organisasi kesehatan. Para pimpinan menyarankan kepada pemerintah untuk:
- Mengembangkan standar teknologi (developed technology standards),
- Menyediakan subsidi keuangan untuk mendorong penerapan EHR (provide subsidies or tax credits to encourage adoption of EHRs),
- Menjalankan tugas (mandate compliance),
- Mengedukasi para dokter dan masyarakat tentang keuntungan EHR (educate physicians and the public about EHR benefits),
- Menetapkan departemen pusat untuk menyediakan pandangan secara nasional (establish a federal department to provide national oversight).
V. Change in the HIM Department
Implementasi EHR di Sarana Pelayanan Kesehatan yang saat ini menjadi isu hangat akan berdampak di dalam perubahan penyelenggaraan unit kerja Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (HIM Deparment). Unit kerja RMIK semula yang berbasis ruang kerja ke depan akan menjadi “Department without Walls”, “No handling of paper charts, no filing of loose sheets, and no photocopying of records” and Coding of diagnoses and procedures is already being performed successfully online.Peran profesional MIK yang akan datang mencakup: Manajer MIK, Spesialis data klinis, Koordinator informasi pasien, Manajer kualitas data, Manajer sekuritas informasi, Administrator sumber data, dan Riset dan spesialis penunjang keputusan.
Beberapa fungsi yang selama ini dilakukan oleh para praktisi RMIK, akan bergeser menjadi lebih sedikit dan sebagian lagi akan ditiadakan. Secara rinci beberapa fungsi dan pergeserannya akan dibahas pada artikel “Peran Profesional MIK dalam EHR” edisi yang akan datang.
VI. Penutup
Implementasi EHR merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan bagi setiap sarana pelayanan kesehatan yang dipicu oleh peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Untuk itu diperlukan pemahaman bersama dalam strategi imlementasi EHR.Kunci sukses implementasi EHR di saryankes tidak terlepas dari peran serta pemerintah dalam menyiapkan kebijakan terkait dengan implementasi EHR antara lain: Standarisasi model EHR yang sesuai di sarana pelayanan kesehatan Indonesia, Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran dari UU ITE No. 11 tahun 2008 dan Pedoman pelaksanaan EHR di saryankes termasuk standarisasi istilah-istilah data dasar yang diperlukan dalam EHR.
Professional Rekam Medis dan Infomasi Kesehatan atau Manajemen Informasi Kesehatan (MIKI) wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang TIK untuk mengantisipasi beberapa peran professional MIK yang akan datang.
PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN DAN KERAHASIAAN REKAM MEDIS SESUAI PERMENKES NO. 269/MENKES/PER/III/2008
Saat
ini kami akan memberikan informasi tentang penyimpanan,
pemusnahan dan kerahasiaan rekam medis sesuai Permenkes No.
269/MENKES/PER/III/2008. Sesuai Permenkes tersebut dijelaskan antara
lain:
I.
Untuk Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit dalam mengelola dan
pemusnahan rekam medis maka harus memenuhi aturan sebagai berikut:
- Rekam medis pasien rawat inap wajib disimpan sekurang-kuangnya 5 tahun sejak pasien berobat terakhir atau pulang dari berobat di rumah sakit.
- Setelah 5 tahun rekam medis dapat dimusnahkan kecuali ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik.
- Ringakasan pulang dan persetujuan tindakan medik wajib disimpan dalam jangka waktu 10 sejak ringkasan dan persetujuan medik dibuat.
- Rekam medis dan ringkasan pulang disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
II. Untuk Pelayanan Kesehatan non rumah Sakit dalam mengelola dan pemusnahan rekam medis harus memenuhi aturan sebagai berikut:
- Rekam medis pasien wajib disimpan sekurang-kuangnya 2 tahun sejak pasien berobat terakhir atau pulang dari berobat. Setelah 2 tahun maka rekam medis dapat dimusnahkan.
Kerahasiaan
isi rekam medis yang berupa identitas, diagnosis, riwayat penyakit,
riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan harus dijaga kerahasiaannya
oleh dokter, dokter gigi, petugas kesehatan lain, petugas pengelola dan
pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Untuk keperluan tertentu rekam
medis tersebut dapat dibuka dengan ketentuan:
- Untuk kepentingan kesehatan pasien.
- Atas perintah pengadilan untuk penegakan hukum.
- Permintaan dan atau persetujuan pasien sendiri.
- Permintaan lembaga /institusi berdasarkan undang-undang.
- Untuk kepentingan penelitian, audit, pendidikan dengan syarat tidak menyebutkan identitas pasien.
Permintaan rekam medis tersebut harus dilakukan tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Sesuai
Ketentuan Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 maka kita dapat
menjalankan pengelolaan rekam medis di rumah sakit maupun non rumah
sakit. Dokter, dokter gigi dan petugas lain, pengelola dan pimpinan
harus menjaga kerahasiaan rekam medis serta dapat memanfaatkan rekam
medis sesuai ketentuannya.
REKAM MEDIS
Pendahuluan
Dalam pelayanan kedokteran di tempat praktek maupun di Rumah Sakit yang standar, dokter membuat catatan mengenai berbagai informasi mengenai pasien tersebut dalam suatu berkas yang dikenal sebagai Status, Rekam Medis, Rekam Kesebatan atau Medical Record. Berkas ini merupakan suatu berkas yang memiliki arti penting bagi pasien, dokter, tenaga kesebatan serta Rumab Sakit. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Rekam Medis serta aspek medikolegalnya.
Definisi Rekam Medis
Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian, seperti dibawab ini:
1. Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan.
2. Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:
Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
3. Menurut Gemala Hatta
Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
4. Waters dan Murphy :
Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan”.
5. IDI :Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien.
Isi Rekam Medis
Isi Rekam Medis merupakan catatan keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data tentang identitas dan data medis seorang pasien. Secara umum isi Rekam Medis dapat dibagi dalam dua kelompok data yaitu:
1. Data medis atau data klinis: Yang termasuk data medis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta basilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat rabasia (confidential) sebingga tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut.
2. Data sosiologis atau data non-medis:
Yang termasuk data ini adalah segala data lain yang tidak berkaitan langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dsb. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial).
Penyelenggaraan Rekam Medis
Penyelenggaraan Rekam Medis pada suatu sarana pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator mutu pelayanan pada institusi tersebut. Berdasarkan data pada Rekam Medis tersebut akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan merasa perlu mengatur tata cara penyelenggaraan Rekam Medis dalam suatu peraturan menteri keehatan agar jelas rambu-rambunya, yaitu berupa Permenkes No.749a1Menkes/Per/XII/1989.
Secara garis besar penyelenggaraan Rekam Medis dalam Permenkes tersebut diatur sebagai berikut:
I. Rekam Medis harus segera dibuat dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima pelayanan (pasal 4). Hal ini dimaksudkan agar data yang dicatat masih original dan tidak ada yang terlupakan karena adanya tenggang waktu.
2. Setiap pencatatan Rekam Medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas pelayanan kesehatan. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sistim pertanggung-jawaban atas pencatatan tersebut (pasal 5).
3. Jika terdapat kesalahan pencatatan, maka pembetulan catatan yang salah harus dilakukan pada tulisan yang salah dan diparaf oleh petugas yang bersangkutan (pasal 6 ayat 1). Secara lebih tegas ayat 2 dari pasal yang sama menyatakan bahwa penghapusan tulisan dengan cara apapun tidak diperbolehkan.
Kepemilikan Rekam Medis
Pada saat seorang pasien berobat ke dokter, sebenamya telah terjadi suatu hubungan kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Hubungan tersebut didasarkan atas kepercayaan pasien bahwa dokter tersebut mampu mengobatinya, dan akan merahasiakan semua rahasia pasien yang diketahuinya pada saat hubungan tersebut terjadi. Dalam hubungan tersebut se«ara otomatis akan banyak data pribadi pasien tersebut yang akan diketahui oleh dokter serta tenaga kesehatan yang memeriksa pasien tersebut. Sebagian dari rahasia tadi dibuat dalam bentuk tulisan yang kita kenal sebagai Rekam Medis. Dengan demikian, kewajiban tenaga kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran, mencakup juga kewajiban untuk menjaga kerahasiaan isi Rekam Medis.
Pada prinsipnya isi Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan. Pasal 10 Permenkes No. 749a menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang harus disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Untuk tujuan itulah di setiap institusi pelayanan kesehatan, dibentuk Unit Rekam Medis yang bertugas menyelenggarakan proses pengelolaan serta penyimpanan Rekam Medis di institusi tersebut. Karena isi Rekam Medis merupakan milik pasien, maka pada prinsipnya tidak pada tempatnya jika dokter atau petugas medis menolak memberitahu tentang isi Rekam Medis kepada pasiennya, kacuali pada keadaan-keadaan tertentu yang memaksa dokter untuk bertindak sebaliknya. Sebaliknya, karena berkas Rekam Medis merupakan milik institusi, maka tidak pada tempatnya pula jika pasien meminjam Rekam Medis tersebut secara paksa, apalagi jika institusi pelayanan kesehatan tersebut menolaknya.
Kegunaan Rekam Medis
Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 ,manfaat yaitu:
1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien.
2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
3. Bahan untuk kepentingan penelitian c
4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan
5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 6 manfaat, yang untuk mudahnya disingkat sebagai ALFRED, yaitu:
1Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif pelayanan kesehatan.
2 Legal value: Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di pengadilan
3. Fmanclal value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
4. Research value: Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
5. Education value: Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran dan pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.
6. Documentation value: Rekam medis merupakan sarana untuk penyimpanan berbagai dokumen yang berkaitan dengan kesehatan pasien.
PENGGUNAAN REKAM MEDIS UNTUK PENINGKATAN MUTU
Dalam audit medis, umumnya sumber data yang digunakan adalah rekam medis pasien, baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Rekam medis adalah sumber data yang paling baik di rumah sakit, meskipun banyak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan rekam medis adalah sering tidak adanya beberapa data yang bersifat sosial-ekonomi pasien, seringnya pengisian rekam medis yang tak lengkap, tidak tercantumnya persepsi pasien, tidak berisi penatalaksanaan “pelengkap” seperti penjelasan dokter dan perawat, seringkali tidak memuat kunjungan kontrol pasca perawatan inap, dll.
Dampak dari audit medis yang diharapkan tentu saja adalah peningkatan mutu dan efektifitas pelayanan medis di sarana kesehatan tersebut. Namun di samping itu, kita juga perlu memperhatikan dampak lain, seperti dampaknya terhadap perilaku para profesional, tanggung-jawab manajemen terhadap nilai dari audit medis tersebut, seberapa jauh mempengaruhi beban kerja, rasa akuntabilitas, prospek karier dan moral, dan jenis pelatihan yang diperlukan
Aspek legal terpenting dari audit medis adalah penggunaan informasi medis pasien, yang tentu saja terkait dengan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Pada Permenkes RI tentang rekam medis disebutkan bahwa salah satu tujuan dari rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang pembahasan informasi medis seseorang pasien di kalangan profesi medis untuk tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia (WMA, Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk tujuan riset dan audit dapat dibenarkan.
It is not a breach of confidentiality to release or transfer confidential health care information required for the purpose of conducting scientific researchs, management audits, financial audits, program evaluations, or similar studies, provided the information released does not identify, directly or indirectly, any individual patient in any report of such research, audit or evaluation, or otherwise disclose patient identities in any manner (Statement of World Medical Association, 1983).
Ketentuan model yang diajukan oleh the American Medical Record Association menyatakan bahwa informasi medis dapat dibuka dalam hal : (a) memperoleh otorisasi tertulis dari pasien, (b) sesuai dengan ketentuan undang-undang, (c) diberikan kepada sarana kesehatan lain yang saat ini menangani pasien, (d) untuk evaluasi perawatan medis, (e) untuk riset dan pendidikan sesuai dengan peraturan setempat. (2)
Di pihak lain, audit medis yang mereview rekam medis dapat saja menemukan kesalahan-kesalahan orang, kesalahan prosedur, kesalahan peralatan dan lain-lain, sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyawan bagi para profesional (dokter, perawat, dan profesi kesehatan lain). Oleh karena itu perlu diingat bahwa audit medis bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan medis dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan bukan untuk mencari kesalahan dan menghukum seseorang. Tindakan manajemen yang diusulkan oleh panitia untuk mengoreksi perilaku dan atau kapasitas perorangan harus dilakukan secara bijaksana sehingga tidak terkesan sebagai sanksi hukuman. Boleh dikatakan bahwa audit medis tidak mencari pelaku kesalahan (liable person/parties), melainkan lebih ke arah menemukan risiko yang dapat dicegah (avoidable risks) – sehingga arahnya benar-benar menuju peningkatan kualitas dan safety.
Dengan demikian dalam melaksanakan audit medis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.Semua orang / staf yang turut serta dalam audit medis adalah mereka yang telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan kedokteran sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966, dikenal memiliki integritas yang tinggi dan memperoleh penunjukan resmi dari direksi.
2.Semua formulir data yang masuk dalam rangka audit medis tetap memiliki tingkat kerahasiaan yang sama dengan rekam medis, termasuk seluruh fotokopi dan fax.
3.Harus disepakati tentang sanksi bagi pelanggaran atas rahasia kedokteran ini, misalnya penghentian penugasan / akses atas rekam medis, atau bahkan penghentian hubungan kerja.
4.Seluruh laporan audit tidak diperkenankan mencantumkan identitas pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5.Seluruh hasil audit medis ditujukan untuk kepentingan perbaikan pelayanan medis di rumah sakit tersebut, tidak dapat dipergunakan untuk sarana kesehatan lain dan tidak digunakan untuk menyalahkan atau menghukum seseorang atau satu kelompok orang.
6.Seluruh hasil audit medis tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan (dalam keadaan tertentu, rekam medis tetap dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan)
PENYIMPANAN REKAM MEDIS
Pasal 10 Pennenkes No. 749a menyatakan secara tegas bahwa Rekam Medis harus disimpan sekurang-kurangnya selama 5 tahun terhitung sejak saat pasien terakhir berobat. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, masa penyimpanan ini tennasuk singkat. Di negara bagian Califonnia Amerika Serikat, penyimpanan rekam medis adalah 7 tahun sejak terakhir kali pasien berobat. Untuk pasien anak-anak, penyimpanan berkasnya bahkan sampai yang bersangkutan berusia 21 tahun , dan kalau perlu bahkan sampai 28 tahun. Di Pensylvania masa penyimpanannya lebih lama yaitu sampai 15 tahun, bahkan di negara Israel sampai 100 tahun. Dalam rangka penghematan ruangan penyimpanan, ada beberapa negara yang membolehkan berkas, yang berusia lebih dari 3 tahun dari saat terakhir pasien berobat, dialihkan menjadi berkas dalam microfilm.
Khusus untuk kasus-kasus yang menjadi perkara di pengadilan, American Medical Record Association dan American Hospital Association membuat pengaturan lebih lanjut dalam Statement on Preservation of Patient Medical Record in Health Care Institution. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa pada kasus biasa berkas Rekam Medis disimpan sampai 10 tahun terhitung dari saat pasien terakhir berobat. Sedang pada kasus yang diperkarakan di pengadilan, penyimpanan berkas Rekam Medisnya
lebih lama lagi yaitu 10 tahun kemudian terhitung sejak perkara terakhimya selesai. "Berkas yang terlah habis masa penyimpannya dapat dimusnahkan, kecuali jika ada halangan oleh peraturan lain.
KOMPUTERISASI REKAM MEDIS
Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi masalah hukum dan tanggung-jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh rumahsakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less paper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
1.Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personil yang berwenang.
2.Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personil tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level tertentu.
3.Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa ijin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
4.Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya).
5.Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Rekam medis yang berbentuk kertas umumnya disimpan di Bagian Rekam Medis. Orang yang akan mengaksesnya harus menunjukkan kartu pengenal atau surat ijin dari direksi atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi, sekali rekam medis ini keluar dari “sarangnya”, petugas rekam medis tidak dapat lagi mengendalikannya. Mungkin saja rekam medis ini dikopi, diedarkan, dll.
Komputerisasi rekam medis harus menerapkan sistem yang mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus memiliki PIN dan password, atau menggunakan sidik jari atau pola iris mata sebagai pengenal identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga orang tertentu hanya bisa mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya seorang petugas registrasi hanya bisa mengakses identitas umum pasien, seorang dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik pasiennya sendiri, seorang petugas “billing” hanya bisa mengakses informasi khusus yang berguna untuk pembuatan tagihan, dll. Bila si dokter tidak mengisi sendiri data medis tersebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. Kopi rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak-pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis “read-only” yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent ? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan ke-otentik-annya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik?
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per-telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat email yang diberi “signature”.
Aspek Medikolegal
Diantara semua manfaat Rekam Medis , yang terpenting adalah aspek legal Rekam Medis. Pada kasus malpraktek medis, keperawatan maupun farmasi, Rekam Medis merupakan salah satu bukti tertulis yang penting. Berdasarkan informasi dalam Rekam Medis, petugas hukum serta Majelis Hakim dapat menentukan benar tidaknya telah terjadi tindakan malpraktek, bagaimana terjadinya malpraktek tersebut serta menentukan siapa sebenarnya yang bersalah dalam perkara tersebut.
Dibawah ini diberikan beberapa ilustrasi kasus yang menunjukkan bagaimana Rekam Medis digunakan dalam pembuktian kasus malpraktek:
Kasus Collins vs Westlake Community Hospital, 1974
Pada kasus ini pasien menggugat staf perawat di RS, yang menurutnya telah lalai dalam mengawasi kondisi dan sirkulasi peredaran darah pada kakinya selama dipasangi spalk kayu sehingga kakinya menjadi busuk dan harus diamputasi. Pengadilanmemeriksa Rekam Medis dan dalam catatan perawat tidak didapatkan adanya catatan perawatan selama 7 jam yang kritis, menunjukkan adanya unsur kclalaian perawat.
Kasus Wagner vs Kaiiser Foundation Hospital, 1979
Seorang pasien mengalami kerusakan otak setelah menjalani operasi mata. Hal ini diduga terjadi akibat kelalaian perawat dalam pengawasan jumlah dan kedalaman pemapasan selama pasien berada dalam ruang pulih sadar (recovery room ), sesaat setelah operasi selesai dilaksanakan. Dalam pembuktian di pengadilan didapatkan bahwa tidak didapatkan adanya catatan mengenai pengawasan tersebut pada kartu pencatatan yang sudah disediakan di recovery room. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyalahkan petugas kesehatan tersebut karena menurutnya jika pengawasan jumlah dan kedalaman pemapasan dilakukan dengan baik, maka akan dapat segera diketahui komplikasi yang terjadi dan karenanya masih ada waktu untuk memberikan oksigen untuk mencegah kerusakan otak.
Kasus Fatuck vs Hillside Hospital, 1975
Pada kasus ini seorang psikiater memberi instruksi kepada perawat untuk mengecek seorang pasien penyakit jiwa setiap 15 menit. Ternyata pasien tersebut melarikan diri dan berhasil bunuh diri. Dalam pembuktian di pengadilan, pada Rekam Medis(yaitu dalam catatan perawatan) tidak dijumpai adanya laporan observasi setiap 15 menit. Majelis hakim menyimpulkan bahwa berdasarkan Rekam Medis dalam kasus ini telah ada bukti kuat adanya kelalaian (prima facie case of negligence).
Aspek medikolegal lain dari Rekam Medis adalah ketika seorang petugas kesehatan dituntut karena membuka rahasia kedokteran (isi Rekam Medis) kepada pihak ketiga tanpa izin pasien atau bahkan menolak memberitahukan isi rekam medis (yang merupakan milik pasien) ketika pasien menanyakannya. Seorang tenaga kesehatan dapat secara sengaja membuka rahasia pasien (isi Rekam Medis) dengan cara menyampaikannya secara langsung kepada orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya secara tidak sengaja, yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien dengan petugas kesehatan lain di depan umum atau jika ia menaruh Rekam Medis secara sembarangan sehingga orang yang tidak berkepentingan dapat melihatnya. Untuk tindakan membuka rahasia ini petugas kesehatan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata maupun administrative. Secara pidana membuka rahasia kedokteran diancam pidana melanggar pasal 322 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 bulan penjara. Secara perdata, pasien yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi berdasarkan pasal 1365 jo 1367 KUH Perdata. Secara administratif, PP No.10 tahun 1966 menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang membuka rahasia kedokteran dapat dikenakan sanksi admninistratif, meskipun pasien tidak menuntut dan telah memaafkannya.
Setiap pelayanan kesehatan , berdasarkan Permenkes No. 749a tahun 1989 diwajibkan untuk memiliki Rekam Medis. Rekam Medis merupakan cerminan mutu pelayanan institusi pelayanan kesehatan. Rekam Medis memiliki 6 manfaat yaitu sebagai nilai administrative, nilai legal, nilai finansial, nilai riset, nilai edukasi serta nilai dokumentatif Sebagai suatu catatan mengenai seorang pasien, maka isi Rekam Medis merupakan rahasia kedokteran yang harus dirahasiakan terhadap pihak ketiga dan merupakan milik pasien. Sebaliknya, secara fisik Rekam Medis merupakan berkas milik institusi perlayanan kesehatan sehingga pasien tidak dapat seenaknya meminjam Rekam Medis dari RS. Sementara itu secara hukum Rekam Medis merupakan salah satu data yang dapat digunakan dalam pembuktian kasus malpraktek di pengadilan. Di lain pihak, sebagai salah satu dokumentasi keadaan pasien, isi Rekam Medis merupakan rahasia kedokteran yang harus dijaga kerahasiannya oleh setiap tenaga kesehatan. Pembukaan isi Rekam Medis secara melanggar hukum dapat menyebabkan tenaga kesehatan yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana, perdata, maupun administratif..
Dalam pelayanan kedokteran di tempat praktek maupun di Rumah Sakit yang standar, dokter membuat catatan mengenai berbagai informasi mengenai pasien tersebut dalam suatu berkas yang dikenal sebagai Status, Rekam Medis, Rekam Kesebatan atau Medical Record. Berkas ini merupakan suatu berkas yang memiliki arti penting bagi pasien, dokter, tenaga kesebatan serta Rumab Sakit. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Rekam Medis serta aspek medikolegalnya.
Definisi Rekam Medis
Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian, seperti dibawab ini:
1. Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan.
2. Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989:
Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.
3. Menurut Gemala Hatta
Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
4. Waters dan Murphy :
Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan”.
5. IDI :Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien.
Isi Rekam Medis
Isi Rekam Medis merupakan catatan keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data tentang identitas dan data medis seorang pasien. Secara umum isi Rekam Medis dapat dibagi dalam dua kelompok data yaitu:
1. Data medis atau data klinis: Yang termasuk data medis adalah segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan serta basilnya, laporan dokter, perawat, hasil pemeriksaan laboratorium, ronsen dsb. Data-data ini merupakan data yang bersifat rabasia (confidential) sebingga tidak dapat dibuka kepada pibak ketiga tanpa izin dari pasien yang bersangkutan kecuali jika ada alasan lain berdasarkan peraturan atau perundang-undangan yang memaksa dibukanya informasi tersebut.
2. Data sosiologis atau data non-medis:
Yang termasuk data ini adalah segala data lain yang tidak berkaitan langsung dengan data medis, seperti data identitas, data sosial ekonomi, alamat dsb. Data ini oleh sebagian orang dianggap bukan rahasia, tetapi menurut sebagian lainnya merupakan data yang juga bersifat rahasia (confidensial).
Penyelenggaraan Rekam Medis
Penyelenggaraan Rekam Medis pada suatu sarana pelayanan kesehatan merupakan salah satu indikator mutu pelayanan pada institusi tersebut. Berdasarkan data pada Rekam Medis tersebut akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah, maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan merasa perlu mengatur tata cara penyelenggaraan Rekam Medis dalam suatu peraturan menteri keehatan agar jelas rambu-rambunya, yaitu berupa Permenkes No.749a1Menkes/Per/XII/1989.
Secara garis besar penyelenggaraan Rekam Medis dalam Permenkes tersebut diatur sebagai berikut:
I. Rekam Medis harus segera dibuat dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima pelayanan (pasal 4). Hal ini dimaksudkan agar data yang dicatat masih original dan tidak ada yang terlupakan karena adanya tenggang waktu.
2. Setiap pencatatan Rekam Medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan petugas pelayanan kesehatan. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sistim pertanggung-jawaban atas pencatatan tersebut (pasal 5).
3. Jika terdapat kesalahan pencatatan, maka pembetulan catatan yang salah harus dilakukan pada tulisan yang salah dan diparaf oleh petugas yang bersangkutan (pasal 6 ayat 1). Secara lebih tegas ayat 2 dari pasal yang sama menyatakan bahwa penghapusan tulisan dengan cara apapun tidak diperbolehkan.
Kepemilikan Rekam Medis
Pada saat seorang pasien berobat ke dokter, sebenamya telah terjadi suatu hubungan kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Hubungan tersebut didasarkan atas kepercayaan pasien bahwa dokter tersebut mampu mengobatinya, dan akan merahasiakan semua rahasia pasien yang diketahuinya pada saat hubungan tersebut terjadi. Dalam hubungan tersebut se«ara otomatis akan banyak data pribadi pasien tersebut yang akan diketahui oleh dokter serta tenaga kesehatan yang memeriksa pasien tersebut. Sebagian dari rahasia tadi dibuat dalam bentuk tulisan yang kita kenal sebagai Rekam Medis. Dengan demikian, kewajiban tenaga kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran, mencakup juga kewajiban untuk menjaga kerahasiaan isi Rekam Medis.
Pada prinsipnya isi Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam Medis (secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan. Pasal 10 Permenkes No. 749a menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang harus disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Untuk tujuan itulah di setiap institusi pelayanan kesehatan, dibentuk Unit Rekam Medis yang bertugas menyelenggarakan proses pengelolaan serta penyimpanan Rekam Medis di institusi tersebut. Karena isi Rekam Medis merupakan milik pasien, maka pada prinsipnya tidak pada tempatnya jika dokter atau petugas medis menolak memberitahu tentang isi Rekam Medis kepada pasiennya, kacuali pada keadaan-keadaan tertentu yang memaksa dokter untuk bertindak sebaliknya. Sebaliknya, karena berkas Rekam Medis merupakan milik institusi, maka tidak pada tempatnya pula jika pasien meminjam Rekam Medis tersebut secara paksa, apalagi jika institusi pelayanan kesehatan tersebut menolaknya.
Kegunaan Rekam Medis
Permenkes no. 749a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 ,manfaat yaitu:
1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien.
2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
3. Bahan untuk kepentingan penelitian c
4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan
5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 6 manfaat, yang untuk mudahnya disingkat sebagai ALFRED, yaitu:
1Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif pelayanan kesehatan.
2 Legal value: Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di pengadilan
3. Fmanclal value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
4. Research value: Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
5. Education value: Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran dan pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.
6. Documentation value: Rekam medis merupakan sarana untuk penyimpanan berbagai dokumen yang berkaitan dengan kesehatan pasien.
PENGGUNAAN REKAM MEDIS UNTUK PENINGKATAN MUTU
Dalam audit medis, umumnya sumber data yang digunakan adalah rekam medis pasien, baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Rekam medis adalah sumber data yang paling baik di rumah sakit, meskipun banyak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan rekam medis adalah sering tidak adanya beberapa data yang bersifat sosial-ekonomi pasien, seringnya pengisian rekam medis yang tak lengkap, tidak tercantumnya persepsi pasien, tidak berisi penatalaksanaan “pelengkap” seperti penjelasan dokter dan perawat, seringkali tidak memuat kunjungan kontrol pasca perawatan inap, dll.
Dampak dari audit medis yang diharapkan tentu saja adalah peningkatan mutu dan efektifitas pelayanan medis di sarana kesehatan tersebut. Namun di samping itu, kita juga perlu memperhatikan dampak lain, seperti dampaknya terhadap perilaku para profesional, tanggung-jawab manajemen terhadap nilai dari audit medis tersebut, seberapa jauh mempengaruhi beban kerja, rasa akuntabilitas, prospek karier dan moral, dan jenis pelatihan yang diperlukan
Aspek legal terpenting dari audit medis adalah penggunaan informasi medis pasien, yang tentu saja terkait dengan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Pada Permenkes RI tentang rekam medis disebutkan bahwa salah satu tujuan dari rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang pembahasan informasi medis seseorang pasien di kalangan profesi medis untuk tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia (WMA, Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk tujuan riset dan audit dapat dibenarkan.
It is not a breach of confidentiality to release or transfer confidential health care information required for the purpose of conducting scientific researchs, management audits, financial audits, program evaluations, or similar studies, provided the information released does not identify, directly or indirectly, any individual patient in any report of such research, audit or evaluation, or otherwise disclose patient identities in any manner (Statement of World Medical Association, 1983).
Ketentuan model yang diajukan oleh the American Medical Record Association menyatakan bahwa informasi medis dapat dibuka dalam hal : (a) memperoleh otorisasi tertulis dari pasien, (b) sesuai dengan ketentuan undang-undang, (c) diberikan kepada sarana kesehatan lain yang saat ini menangani pasien, (d) untuk evaluasi perawatan medis, (e) untuk riset dan pendidikan sesuai dengan peraturan setempat. (2)
Di pihak lain, audit medis yang mereview rekam medis dapat saja menemukan kesalahan-kesalahan orang, kesalahan prosedur, kesalahan peralatan dan lain-lain, sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyawan bagi para profesional (dokter, perawat, dan profesi kesehatan lain). Oleh karena itu perlu diingat bahwa audit medis bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan medis dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan bukan untuk mencari kesalahan dan menghukum seseorang. Tindakan manajemen yang diusulkan oleh panitia untuk mengoreksi perilaku dan atau kapasitas perorangan harus dilakukan secara bijaksana sehingga tidak terkesan sebagai sanksi hukuman. Boleh dikatakan bahwa audit medis tidak mencari pelaku kesalahan (liable person/parties), melainkan lebih ke arah menemukan risiko yang dapat dicegah (avoidable risks) – sehingga arahnya benar-benar menuju peningkatan kualitas dan safety.
Dengan demikian dalam melaksanakan audit medis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.Semua orang / staf yang turut serta dalam audit medis adalah mereka yang telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan kedokteran sebagaimana diatur dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966, dikenal memiliki integritas yang tinggi dan memperoleh penunjukan resmi dari direksi.
2.Semua formulir data yang masuk dalam rangka audit medis tetap memiliki tingkat kerahasiaan yang sama dengan rekam medis, termasuk seluruh fotokopi dan fax.
3.Harus disepakati tentang sanksi bagi pelanggaran atas rahasia kedokteran ini, misalnya penghentian penugasan / akses atas rekam medis, atau bahkan penghentian hubungan kerja.
4.Seluruh laporan audit tidak diperkenankan mencantumkan identitas pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5.Seluruh hasil audit medis ditujukan untuk kepentingan perbaikan pelayanan medis di rumah sakit tersebut, tidak dapat dipergunakan untuk sarana kesehatan lain dan tidak digunakan untuk menyalahkan atau menghukum seseorang atau satu kelompok orang.
6.Seluruh hasil audit medis tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan (dalam keadaan tertentu, rekam medis tetap dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan)
PENYIMPANAN REKAM MEDIS
Pasal 10 Pennenkes No. 749a menyatakan secara tegas bahwa Rekam Medis harus disimpan sekurang-kurangnya selama 5 tahun terhitung sejak saat pasien terakhir berobat. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, masa penyimpanan ini tennasuk singkat. Di negara bagian Califonnia Amerika Serikat, penyimpanan rekam medis adalah 7 tahun sejak terakhir kali pasien berobat. Untuk pasien anak-anak, penyimpanan berkasnya bahkan sampai yang bersangkutan berusia 21 tahun , dan kalau perlu bahkan sampai 28 tahun. Di Pensylvania masa penyimpanannya lebih lama yaitu sampai 15 tahun, bahkan di negara Israel sampai 100 tahun. Dalam rangka penghematan ruangan penyimpanan, ada beberapa negara yang membolehkan berkas, yang berusia lebih dari 3 tahun dari saat terakhir pasien berobat, dialihkan menjadi berkas dalam microfilm.
Khusus untuk kasus-kasus yang menjadi perkara di pengadilan, American Medical Record Association dan American Hospital Association membuat pengaturan lebih lanjut dalam Statement on Preservation of Patient Medical Record in Health Care Institution. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa pada kasus biasa berkas Rekam Medis disimpan sampai 10 tahun terhitung dari saat pasien terakhir berobat. Sedang pada kasus yang diperkarakan di pengadilan, penyimpanan berkas Rekam Medisnya
lebih lama lagi yaitu 10 tahun kemudian terhitung sejak perkara terakhimya selesai. "Berkas yang terlah habis masa penyimpannya dapat dimusnahkan, kecuali jika ada halangan oleh peraturan lain.
KOMPUTERISASI REKAM MEDIS
Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan mempertajam bergeraknya informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi masalah hukum dan tanggung-jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh rumahsakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi tidak mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less paper. Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out).
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
1.Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personil yang berwenang.
2.Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personil tertentu hanya bisa mengakses data tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level tertentu.
3.Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa ijin pasien. Distribusi informasi medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
4.Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya (atau ahli warisnya).
5.Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Rekam medis yang berbentuk kertas umumnya disimpan di Bagian Rekam Medis. Orang yang akan mengaksesnya harus menunjukkan kartu pengenal atau surat ijin dari direksi atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi, sekali rekam medis ini keluar dari “sarangnya”, petugas rekam medis tidak dapat lagi mengendalikannya. Mungkin saja rekam medis ini dikopi, diedarkan, dll.
Komputerisasi rekam medis harus menerapkan sistem yang mengurangi kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus memiliki PIN dan password, atau menggunakan sidik jari atau pola iris mata sebagai pengenal identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga orang tertentu hanya bisa mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya seorang petugas registrasi hanya bisa mengakses identitas umum pasien, seorang dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik pasiennya sendiri, seorang petugas “billing” hanya bisa mengakses informasi khusus yang berguna untuk pembuatan tagihan, dll. Bila si dokter tidak mengisi sendiri data medis tersebut, ia harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam medis yang dilakukan oleh petugas khusus tersebut telah benar.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. Kopi rekam medis juga hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka informasi ini kepada pihak-pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis “read-only” yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed consent ? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan ke-otentik-annya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik?
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per-telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan lewat email yang diberi “signature”.
Aspek Medikolegal
Diantara semua manfaat Rekam Medis , yang terpenting adalah aspek legal Rekam Medis. Pada kasus malpraktek medis, keperawatan maupun farmasi, Rekam Medis merupakan salah satu bukti tertulis yang penting. Berdasarkan informasi dalam Rekam Medis, petugas hukum serta Majelis Hakim dapat menentukan benar tidaknya telah terjadi tindakan malpraktek, bagaimana terjadinya malpraktek tersebut serta menentukan siapa sebenarnya yang bersalah dalam perkara tersebut.
Dibawah ini diberikan beberapa ilustrasi kasus yang menunjukkan bagaimana Rekam Medis digunakan dalam pembuktian kasus malpraktek:
Kasus Collins vs Westlake Community Hospital, 1974
Pada kasus ini pasien menggugat staf perawat di RS, yang menurutnya telah lalai dalam mengawasi kondisi dan sirkulasi peredaran darah pada kakinya selama dipasangi spalk kayu sehingga kakinya menjadi busuk dan harus diamputasi. Pengadilanmemeriksa Rekam Medis dan dalam catatan perawat tidak didapatkan adanya catatan perawatan selama 7 jam yang kritis, menunjukkan adanya unsur kclalaian perawat.
Kasus Wagner vs Kaiiser Foundation Hospital, 1979
Seorang pasien mengalami kerusakan otak setelah menjalani operasi mata. Hal ini diduga terjadi akibat kelalaian perawat dalam pengawasan jumlah dan kedalaman pemapasan selama pasien berada dalam ruang pulih sadar (recovery room ), sesaat setelah operasi selesai dilaksanakan. Dalam pembuktian di pengadilan didapatkan bahwa tidak didapatkan adanya catatan mengenai pengawasan tersebut pada kartu pencatatan yang sudah disediakan di recovery room. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyalahkan petugas kesehatan tersebut karena menurutnya jika pengawasan jumlah dan kedalaman pemapasan dilakukan dengan baik, maka akan dapat segera diketahui komplikasi yang terjadi dan karenanya masih ada waktu untuk memberikan oksigen untuk mencegah kerusakan otak.
Kasus Fatuck vs Hillside Hospital, 1975
Pada kasus ini seorang psikiater memberi instruksi kepada perawat untuk mengecek seorang pasien penyakit jiwa setiap 15 menit. Ternyata pasien tersebut melarikan diri dan berhasil bunuh diri. Dalam pembuktian di pengadilan, pada Rekam Medis(yaitu dalam catatan perawatan) tidak dijumpai adanya laporan observasi setiap 15 menit. Majelis hakim menyimpulkan bahwa berdasarkan Rekam Medis dalam kasus ini telah ada bukti kuat adanya kelalaian (prima facie case of negligence).
Aspek medikolegal lain dari Rekam Medis adalah ketika seorang petugas kesehatan dituntut karena membuka rahasia kedokteran (isi Rekam Medis) kepada pihak ketiga tanpa izin pasien atau bahkan menolak memberitahukan isi rekam medis (yang merupakan milik pasien) ketika pasien menanyakannya. Seorang tenaga kesehatan dapat secara sengaja membuka rahasia pasien (isi Rekam Medis) dengan cara menyampaikannya secara langsung kepada orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya secara tidak sengaja, yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien dengan petugas kesehatan lain di depan umum atau jika ia menaruh Rekam Medis secara sembarangan sehingga orang yang tidak berkepentingan dapat melihatnya. Untuk tindakan membuka rahasia ini petugas kesehatan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata maupun administrative. Secara pidana membuka rahasia kedokteran diancam pidana melanggar pasal 322 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 bulan penjara. Secara perdata, pasien yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi berdasarkan pasal 1365 jo 1367 KUH Perdata. Secara administratif, PP No.10 tahun 1966 menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang membuka rahasia kedokteran dapat dikenakan sanksi admninistratif, meskipun pasien tidak menuntut dan telah memaafkannya.
Setiap pelayanan kesehatan , berdasarkan Permenkes No. 749a tahun 1989 diwajibkan untuk memiliki Rekam Medis. Rekam Medis merupakan cerminan mutu pelayanan institusi pelayanan kesehatan. Rekam Medis memiliki 6 manfaat yaitu sebagai nilai administrative, nilai legal, nilai finansial, nilai riset, nilai edukasi serta nilai dokumentatif Sebagai suatu catatan mengenai seorang pasien, maka isi Rekam Medis merupakan rahasia kedokteran yang harus dirahasiakan terhadap pihak ketiga dan merupakan milik pasien. Sebaliknya, secara fisik Rekam Medis merupakan berkas milik institusi perlayanan kesehatan sehingga pasien tidak dapat seenaknya meminjam Rekam Medis dari RS. Sementara itu secara hukum Rekam Medis merupakan salah satu data yang dapat digunakan dalam pembuktian kasus malpraktek di pengadilan. Di lain pihak, sebagai salah satu dokumentasi keadaan pasien, isi Rekam Medis merupakan rahasia kedokteran yang harus dijaga kerahasiannya oleh setiap tenaga kesehatan. Pembukaan isi Rekam Medis secara melanggar hukum dapat menyebabkan tenaga kesehatan yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana, perdata, maupun administratif..
Rekam Medis (Menurut Permenkes no.269/2008 & UU no.29/2004)
Rekam Medis (Menurut Permenkes no.269/2008 & UU no.29/2004)
Dr. Wila Ch. Supriadi, S.H.
Guru Besar Hukum Kesehatan Unika Parahyangan Bandung
Rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen tentang pasien yang berisi identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis lain pada sarana pelayanan kesehatan untuk rawat jalan, rawat inap baik dikelola pemerintah maupun swasta.
Setiap sarana kesehatan wajib membuat rekam medis, dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang terkait, harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan, & harus dibubuhi tandatangan yang memberikan pelayanan.
Tata Cara Penyelenggaraan
- Pembetulan kesalahan dilakukan pada tulisan yang salah, diberi paraf oleh petugas yang bersangkutan.
- Menghapus tulisan dengan cara apa pun juga tidak diperbolehkan
- Penyimpanan lima tahun sejak pasien terakhir berobat, setelah lima tahun dapat dimusnahkan, sesuai tata cara pemusnahan ditetapkan oleh dirjen & tata cara pemusnahan arsip yang baku.
- Dapat dilakukan penyimpanan khusus dan ditempatkan tersendiri
- Rekam medis disimpan oleh petugas khusus yang ditunjuk oleh pempinan sarana kesehatan
- Berkas rekam medis milik sarana kesehatan
- Isi rekam medis milik pasien
- Wajib dijaga kerahasiaannya
- Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan dengan izin tertulis dari pasien
- Pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas kerusakan, kehilangan, pemalsuan, & penyalahgunaan oleh orang/badan yang tidak berhak
Pemanfaatan Rekam Medis
- Dasar pemeliharaan kesehatan pasien
- Bahan pembuktian dalam perkara hukum
- Bahan penelitian & pendidikan
- Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
- Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan
Isi rekam medis:
Rawat jalan: Identitas; anamnese; diagnosis & tindakkan pengobatan
Rawat inap: identitas; anamnese; riwayat penyakit; hasil pemeriksaan laboratorik; diagnosis; persetujuan tindakan medik; pengobatan; catatan perawat; catatan observasi klinis & hasil pengobatan; resume akhir & evaluasi pengobatan
Pengorganisasian
- Pengelolaan rekam medis dilaksanakan sesuai dengan tata kerja organisasi sarana kesehatan
- Pimpinan sarana kesehatan wajib membina
- Pengawasan oleh Dirjen
- Sanksi teguran sampai dengan pencabutan izin praktik
Wajib membuat Rekam Medis
- Sengaja tidak membuat rekam medis diancam dengan hukuman penjara maks 1 tahun atau denda 50 juta
- Harus segera dilengkapi segera setelah selesai tindakan medis
- Dibubuhan nama, waktu dan ditandatangani
- Wajib dijaga kerahasiaannya oleh dokter dan sarana kesehatan
Pelaksanaan di lapangan
- Pasien berhak mendapatkan copy rekam medis
- Dijaga kerahasiaannya, bahkan sampai pasien meninggal dunia. Jika pasien meninggal dunia, maka keluarga tidak berhak untuk meminta rekam medis
- Untuk kepentingan penelitian, dapat diberikan, namun tanpa identitas
- Apabila sudah menjadi perkara baru dapat diberikan kepada penegak hukum
- Dasar dari pengaduan dan gugatan pasien hanya melalui rekam medis
- Pasien atau pengacara pasien sulit membaca rekam medis, harus dibaca oleh dokter
- Belum tentu dokter lain juga dapat membaca rekam medis dari dokter
- Dokter menggunakan Rekam medis untuk pembuktian kasus yang menimpa dirinya? (rahasia pasien?)
- Rekam medis lengkap dan tidak lengkap ukurannya adalah apabila semua yang ditentukan telah dilakukan.
- Berkas rekam medis hilang, maka yang bertanggungjawab adalah petugas yang menjaga arsip rekam medis, sanksinya cukup berat, dapat dikatagorikan menghilangkan barang bukti
- Penghapusan rekam medis, dapat dikategorikan sebagai pemalsuan, jadi kalau salah tulis hanya dapat dibetulkan pada saat itu, dengan cara mencoret yang salah dan dibubuhkan paraf
Sekali ditulis tidak dapat diperbaiki kemudian
- Pemeriksaan penunjang, selalu diberikan kepada pasien, karena adanya pendapat itu milik pasien
Apabila dilakukan harus ditulis hasilnya diberikan kepada pasien. Masalah timbul apabila pasien menghilangkan hasil pemeriksaan tersebut.
Berkas Rekam Medis di Pengadilan
- Rekam medis bukan akta otentik
- Pembuktian di pengadilan, masih memerlukan interpretasi
- Jadi rekam medis dapat digunakan untuk pembuktian, namun masih tetap saja dapat diperdebatkan
- Berguna untuk dokter, sedikit gunanya untuk pasien
Rahasia Kedokteran/rahasia jabatan (Pasal 322 KUHP)
- Hak dokter untuk menolak hadir di pengadilan
- Pengajuan keberatan pada hakim
- Hakim memutuskan ditolak/dikabulkan
Arti Rekam Medis
- Banyak dokter yang tidak menyadari pentingnya rekam medis
- Harus disadari bahwa rekam medis harus dibuat dan tidak membuat rekam medis adalah tindak pidana kejahatan
- Harus lengkap, sebab dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan
- Rekam medis yang tidak lengkap akan menyulitkan dokter dalam perkara dengan pasien baik di luar maupun di dalam pengadilan
- Meskipun yang harus membuktikan pasien, apabila rekam medis tidak lengkap dapat membuka interpretasi adanya kelalaian yang dilakukan oleh dokter
- Rekam medis diisi oleh banyak pihak, semua pihak harus menyadari pentingnya rekam medis secara keseluruhan
- Selain berisi catatan, berkas rekam medis juga terdiri dari hasil pemeriksaan penunjang
- Hasil pemeriksaan penunjang sebaiknya dijadikan satu dengan berkas rekam medis, kecuali diminta dengan oleh pasien
- Apabila pasien meminta, maka menjadi tanggungjawab pasien, hanya berkas pendapat ahli (interpretasi) harus disimpan oleh sarana kesehatan
- Berkas rekam medis yang lengkap sangat membantu dokter atau rumah sakit dalam proses pembuktian perkara baik di luar pengadilan, mau pun di dalam pengadilan, bahkan dapat membuat pasien mengerti akan semua tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
Dr. Wila Ch. Supriadi, S.H.
Guru Besar Hukum Kesehatan Unika Parahyangan Bandung
Rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen tentang pasien yang berisi identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis lain pada sarana pelayanan kesehatan untuk rawat jalan, rawat inap baik dikelola pemerintah maupun swasta.
Setiap sarana kesehatan wajib membuat rekam medis, dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang terkait, harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan, & harus dibubuhi tandatangan yang memberikan pelayanan.
Tata Cara Penyelenggaraan
- Pembetulan kesalahan dilakukan pada tulisan yang salah, diberi paraf oleh petugas yang bersangkutan.
- Menghapus tulisan dengan cara apa pun juga tidak diperbolehkan
- Penyimpanan lima tahun sejak pasien terakhir berobat, setelah lima tahun dapat dimusnahkan, sesuai tata cara pemusnahan ditetapkan oleh dirjen & tata cara pemusnahan arsip yang baku.
- Dapat dilakukan penyimpanan khusus dan ditempatkan tersendiri
- Rekam medis disimpan oleh petugas khusus yang ditunjuk oleh pempinan sarana kesehatan
- Berkas rekam medis milik sarana kesehatan
- Isi rekam medis milik pasien
- Wajib dijaga kerahasiaannya
- Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan dengan izin tertulis dari pasien
- Pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas kerusakan, kehilangan, pemalsuan, & penyalahgunaan oleh orang/badan yang tidak berhak
Pemanfaatan Rekam Medis
- Dasar pemeliharaan kesehatan pasien
- Bahan pembuktian dalam perkara hukum
- Bahan penelitian & pendidikan
- Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
- Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan
Isi rekam medis:
Rawat jalan: Identitas; anamnese; diagnosis & tindakkan pengobatan
Rawat inap: identitas; anamnese; riwayat penyakit; hasil pemeriksaan laboratorik; diagnosis; persetujuan tindakan medik; pengobatan; catatan perawat; catatan observasi klinis & hasil pengobatan; resume akhir & evaluasi pengobatan
Pengorganisasian
- Pengelolaan rekam medis dilaksanakan sesuai dengan tata kerja organisasi sarana kesehatan
- Pimpinan sarana kesehatan wajib membina
- Pengawasan oleh Dirjen
- Sanksi teguran sampai dengan pencabutan izin praktik
Wajib membuat Rekam Medis
- Sengaja tidak membuat rekam medis diancam dengan hukuman penjara maks 1 tahun atau denda 50 juta
- Harus segera dilengkapi segera setelah selesai tindakan medis
- Dibubuhan nama, waktu dan ditandatangani
- Wajib dijaga kerahasiaannya oleh dokter dan sarana kesehatan
Pelaksanaan di lapangan
- Pasien berhak mendapatkan copy rekam medis
- Dijaga kerahasiaannya, bahkan sampai pasien meninggal dunia. Jika pasien meninggal dunia, maka keluarga tidak berhak untuk meminta rekam medis
- Untuk kepentingan penelitian, dapat diberikan, namun tanpa identitas
- Apabila sudah menjadi perkara baru dapat diberikan kepada penegak hukum
- Dasar dari pengaduan dan gugatan pasien hanya melalui rekam medis
- Pasien atau pengacara pasien sulit membaca rekam medis, harus dibaca oleh dokter
- Belum tentu dokter lain juga dapat membaca rekam medis dari dokter
- Dokter menggunakan Rekam medis untuk pembuktian kasus yang menimpa dirinya? (rahasia pasien?)
- Rekam medis lengkap dan tidak lengkap ukurannya adalah apabila semua yang ditentukan telah dilakukan.
- Berkas rekam medis hilang, maka yang bertanggungjawab adalah petugas yang menjaga arsip rekam medis, sanksinya cukup berat, dapat dikatagorikan menghilangkan barang bukti
- Penghapusan rekam medis, dapat dikategorikan sebagai pemalsuan, jadi kalau salah tulis hanya dapat dibetulkan pada saat itu, dengan cara mencoret yang salah dan dibubuhkan paraf
Sekali ditulis tidak dapat diperbaiki kemudian
- Pemeriksaan penunjang, selalu diberikan kepada pasien, karena adanya pendapat itu milik pasien
Apabila dilakukan harus ditulis hasilnya diberikan kepada pasien. Masalah timbul apabila pasien menghilangkan hasil pemeriksaan tersebut.
Berkas Rekam Medis di Pengadilan
- Rekam medis bukan akta otentik
- Pembuktian di pengadilan, masih memerlukan interpretasi
- Jadi rekam medis dapat digunakan untuk pembuktian, namun masih tetap saja dapat diperdebatkan
- Berguna untuk dokter, sedikit gunanya untuk pasien
Rahasia Kedokteran/rahasia jabatan (Pasal 322 KUHP)
- Hak dokter untuk menolak hadir di pengadilan
- Pengajuan keberatan pada hakim
- Hakim memutuskan ditolak/dikabulkan
Arti Rekam Medis
- Banyak dokter yang tidak menyadari pentingnya rekam medis
- Harus disadari bahwa rekam medis harus dibuat dan tidak membuat rekam medis adalah tindak pidana kejahatan
- Harus lengkap, sebab dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan
- Rekam medis yang tidak lengkap akan menyulitkan dokter dalam perkara dengan pasien baik di luar maupun di dalam pengadilan
- Meskipun yang harus membuktikan pasien, apabila rekam medis tidak lengkap dapat membuka interpretasi adanya kelalaian yang dilakukan oleh dokter
- Rekam medis diisi oleh banyak pihak, semua pihak harus menyadari pentingnya rekam medis secara keseluruhan
- Selain berisi catatan, berkas rekam medis juga terdiri dari hasil pemeriksaan penunjang
- Hasil pemeriksaan penunjang sebaiknya dijadikan satu dengan berkas rekam medis, kecuali diminta dengan oleh pasien
- Apabila pasien meminta, maka menjadi tanggungjawab pasien, hanya berkas pendapat ahli (interpretasi) harus disimpan oleh sarana kesehatan
- Berkas rekam medis yang lengkap sangat membantu dokter atau rumah sakit dalam proses pembuktian perkara baik di luar pengadilan, mau pun di dalam pengadilan, bahkan dapat membuat pasien mengerti akan semua tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
RKE ( Rekam Medis Elektronik )
Berdasarkan sumber yang saya baca Sistem informasi Rekam medik elektronik(rekam medik berbasis-komputer) adalah sistem penyimpanan informasi secara elektronik mengenai status kesehatan serta pelayanan kesehatan,yang diperoleh pasien sepanjang hidupnya dan tersimpan sedemikian hingga dapat melayani berbagai pengguna rekam yang sah(Shortliffe, 2001).
Sistem informasi rekam medik elektronik kini telah banyak diterapkan oleh Rumah Sakit-Rumah Sakit yang ada di Indonesia sebab telah terbukti memberi kemudahan pada petugas pelayanan kesehatan,sehingga mempercepat proses yang akan diperlukan baik bagi pihak rumah sakit maupun bagi pihak pasien tersebut.
Sistem informasi rekam medik eletronik pada era saat ini sangat membantu kinerja petugas pelayanan kesehatan karena memberi kemudahan-kemudahan dalam mendata segala sesuatu tentang pasien untuk dibutuhkan dengan cara yang cepat.
Namun dibalik kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam sistem informasi rekam medik elektronik terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam mengoperasikannya,seperti:membutuhkan biaya yang tidak sedikit,diperlukan sistem jaringan serta sistem keamanan yang kuat.
PERNYATAAN IDI TENTANG REKAM MEDIS
1. Rekam medis / kesehatan adalah
rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang
diberikan oleh pemberi pelayanan medis / kesehatan kepada seorang
pasien.
2. Rekam medis / kesehatan meliputi identitas lengkap pasien, catatan tentang penyakit ( diagnosis, terapi dan pengamatan perjalanan penyakit ), catatan dari pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, pemeriksaan USG, dan lain lainnya serta resume.
3. Rekam medis / kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya paling lambat 48 jam setelah pasien pulang atau meninggal.
4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan medis, harus diterima oleh perawat senior. Perawat senior yang bersangkutan harus membaca ulang catatannya tentang perintah tersebut dan dokter yang bersangkutan mendengarkan pembacaan ulang itu dengan seksama serta mengoreksi bila ada kesalahan.
Dalam waktu paling lambat 24 jam, dokter yang memberi perintah harus menandatangani catatan perintah itu.
5. Perubahan terhadap rekam medis / kesehatan harus dilakukan dalam lembaran khusus yang harus dijadikan satu dengan dokumen rekam medis kesehatan lainnya.
6. Rekam medis / kesehatan harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locum tennens, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
7. Berdasarkan butir 6 diatas, rekam medis / kesehatan wajib ada di RS, Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik berkelompok.
8. Berkas rekam medis / kesehatan adalah milik RS, fasilitas kesehatan lainnya atau dokter praktik pribadi / praktik berkelompok.
Oleh karena itu, rekam medis / kesehatan hanya boleh disimpan oleh RS, fasilitas kesehatan lainnya dan praktik pribadi / praktik berkelompok.
9 Pasien adalah pemilik kandungan isi rekam medis / kesehatan yang bersangkutan, maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya, dokter yang merawatnya harus mengutarakannya, baik secara lisan maupun secara tertulis.
10 Pemaparan isi kandungan rekam medis / kesehatan hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien yang bersangkutan. Dan hal ini hanya boleh dilakukan untuk:
( 1 ) Pasien yang bersangkutan.
( 2 ) Atau kepada konsulen.
( 3 ) Atau untuk kepentingan pengadilan.
Untuk RS permintaan pemaparan ini untuk kepentingan pengadilan harus ditujukan kepada Kepala RS.
11. Lama penyimpanan berkas rekam medis / kesehatan adalah lima tahun dari tanggal terakhir pasien berobat atau dirawat, dan selama lima tahun itu pasien yang bersangkutan tidak berkunjung lagi untuk berobat. Lama penyimpanan berkas rekam medis / kesehatan yang berkaitan dengan hal hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan lain.
12. Setelah batas waktu tersebut pada butir 11, berkas rekam medis / kesehatan dapat dimusnahkan.
13. Rekam medis / kesehatan adalah berkas yang perlu dirahasiakan.
Oleh karena itu, sifat kerahasiaan ini perlu selalu dijaga oleh setiap petugas yang ikut menangani rekam medis / kesehatan.
Sumber: Lampiran SK PB IDI No.315/PB/A.4/88
2. Rekam medis / kesehatan meliputi identitas lengkap pasien, catatan tentang penyakit ( diagnosis, terapi dan pengamatan perjalanan penyakit ), catatan dari pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, pemeriksaan USG, dan lain lainnya serta resume.
3. Rekam medis / kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya paling lambat 48 jam setelah pasien pulang atau meninggal.
4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan medis, harus diterima oleh perawat senior. Perawat senior yang bersangkutan harus membaca ulang catatannya tentang perintah tersebut dan dokter yang bersangkutan mendengarkan pembacaan ulang itu dengan seksama serta mengoreksi bila ada kesalahan.
Dalam waktu paling lambat 24 jam, dokter yang memberi perintah harus menandatangani catatan perintah itu.
5. Perubahan terhadap rekam medis / kesehatan harus dilakukan dalam lembaran khusus yang harus dijadikan satu dengan dokumen rekam medis kesehatan lainnya.
6. Rekam medis / kesehatan harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locum tennens, untuk kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
7. Berdasarkan butir 6 diatas, rekam medis / kesehatan wajib ada di RS, Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik berkelompok.
8. Berkas rekam medis / kesehatan adalah milik RS, fasilitas kesehatan lainnya atau dokter praktik pribadi / praktik berkelompok.
Oleh karena itu, rekam medis / kesehatan hanya boleh disimpan oleh RS, fasilitas kesehatan lainnya dan praktik pribadi / praktik berkelompok.
9 Pasien adalah pemilik kandungan isi rekam medis / kesehatan yang bersangkutan, maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya, dokter yang merawatnya harus mengutarakannya, baik secara lisan maupun secara tertulis.
10 Pemaparan isi kandungan rekam medis / kesehatan hanya boleh dilakukan oleh dokter yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien yang bersangkutan. Dan hal ini hanya boleh dilakukan untuk:
( 1 ) Pasien yang bersangkutan.
( 2 ) Atau kepada konsulen.
( 3 ) Atau untuk kepentingan pengadilan.
Untuk RS permintaan pemaparan ini untuk kepentingan pengadilan harus ditujukan kepada Kepala RS.
11. Lama penyimpanan berkas rekam medis / kesehatan adalah lima tahun dari tanggal terakhir pasien berobat atau dirawat, dan selama lima tahun itu pasien yang bersangkutan tidak berkunjung lagi untuk berobat. Lama penyimpanan berkas rekam medis / kesehatan yang berkaitan dengan hal hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan lain.
12. Setelah batas waktu tersebut pada butir 11, berkas rekam medis / kesehatan dapat dimusnahkan.
13. Rekam medis / kesehatan adalah berkas yang perlu dirahasiakan.
Oleh karena itu, sifat kerahasiaan ini perlu selalu dijaga oleh setiap petugas yang ikut menangani rekam medis / kesehatan.
Sumber: Lampiran SK PB IDI No.315/PB/A.4/88
Langganan:
Postingan (Atom)